Rezeki Lahiriah dan Batiniah
Kata “rezeki” sudah tidak asing bagi kita dalam kehidupan
sehari-hari. Apalagi kita sendiri meyakini bahwa semua semua makhluk yang hidup
di muka bumi ini, telah ada yang mengatur rezekinya masing-masing, yaitu Allah, Sang Maha Pencipta (Surat Hud: 6). Demikian salah satu contoh ayat Alquran yang terkait dengan pengaturan
rezeki oleh-Nya.
Ayat tersebut sebagaimana dijelaskan Wahbah Zuhaili (dalam Tafsir
Al-Wasit) menegaskan bahwa Allah-lah yang menjamin rezeki semua makhluk-Nya,
tak terkecuali manusia. Namun, keberhasilan rezeki tersebut tidak menafikan adanya
hukum kausalitas (sebab akibat), yakni usaha atau kerja keras masing-masing. Dialah, Allah Al-Razzaq (Yang Maha Pemberi Rezeki).
Kemudian timbul
pertanyaan, apa yang dimaksud dengan rezeki? Para ulama, seperti Luis Makluf
(dalam Al-Munjid), Ibnu Manzur (dalam Lisanul Arab:),
Al-Zubaidi (dalam Tajul Arus), Al-Fairuzabadi (dalam Kamus
Al-Muhit), dan Al-Jauhari (Kamus Al-Sihah), mereka
sepakat mendefinisikan rezeki, yaitu setiap sesuatu yang bisa dimanfaatkan
atau berupa pemberian, termasuk adanya hujan yang turun dari langit.
Ulama yang lain, seperti Ragib Al-Asfahani (dalam Al-Mufradat fi
Garibil Quran) mendefinisikan rezeki dengan pemberian yang berjalan dalam
diri manusia, baik terkait dengan urusan dunia maupun urusan akhirat. Selain
itu terkadang terkait juga dengan bagian yang ada pada diri kita dan sesuatu
yang sampai pada perut kita. Definisi inilah yang sering kita dengar. Misalnya,
seperti makanan yang kita makan dan minuman yang kita minum.
Selanjutnya para ulama (khususnya Ibnu Manzur dan Al-Zubaidi)
membagi rezeki yang ada pada manusia menjadi dua bagian. Pertama, rezeki zahiriah, yaitu rezeki yang
nampak dalam badan kita, seperti kekuatan atau tenaga. Kedua, rezeki batiniah,
yaitu rezeki yang terdapat dalam hati dan jiwa kita, seperti ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, jelas sekali bahwa rezeki itu tidak identik dengan
materi saja sebagaimana yang dianggap oleh sebagian kita selama ini, seperti
berlimpahnya harta kekayaan, jabatan, dan lain sebagainya. Padahal masih ada
rezeki yang seringkali terlupakan dalam diri kita seperti yang baru saja
disebutkan. Bukankah jika kita mempunyai badan sehat dan keluarga semuanya saleh
disebut rezeki juga? Jelas kalau kita memahami kedua macam rezeki tersebut secara
implisit termasuk ke dalam rezeki. Bahkan, Rasulullah sendiri mengingatkan kita
tentang sering terabaikannya dua nikmat, yaitu kesehatan dan waktu senggang.
Karena urusan rezeki itu adalah urusan Allah,
maka datangnya pun terkadang tanpa diduga oleh kita dan di luar jangkauan akal
kita, serta datangnya tanpa membedakan status sosial kita. Semua itu tidak
terlepas juga dari Qudrat dan Iradat-Nya, serta keadilan-Nya. Karena
bagi-Nya, untuk mendatangkannya tidak ada sesuatu yang mustahil (kun fayakun).
Namun, tidak begitu saja datang, melainkan syaratnya adalah takwa kepada-Nya,
sebagaimana yang dijanjikan oleh-Nya (Surat Al-Talak: 2-3). Semoga bermanfaat. Amin.
Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:
Hidayat, Enang (2017, 30 Juli). Rezeki Lahiriah dan Batiniah [Entri blog]. Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2017/07/rezeki-zahiriah.html
Comments
Post a Comment