Domain Ikhlas

Kata “ikhlas” sering terdengar dalam kehidupan sehari-hari. Apa maksudnya? Mayoritas ulama mengatakan ikhlas itu kebalikan dari riya, yaitu melaksanakan suatu perbuatan karena ingin kelihatan orang lain. Hakikat ikhlas ini menurut Al-Zubaidi (dalam Tajul Arus:) adalah membebaskan diri dari selain Allah. Oleh karena itu, orangnya disebut mukhlis, yaitu orang yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan. Karenanya, dalam Alquran menurut Ibnu Asir sebagaimana dikutif menurut Ibnu Manzur (dalam Lisanul Arab) terdapat surat yang dikenal dengan surat “Al-Ikhlas” yang berarti memurnikan dan mensucikan sifat Allah.

Ikhlas ini menurut Rafik Al-Azam (dalam Mausuah Mustalah Tasawuf) termasuk derajat yang paling tinggi bagi seorang hamba. Ikhlas ini terbebasnya hamba dari riya dan hawa nafsu. Dalam rangka beribadah kepada-Nya, seorang hamba mengkhususkan diri hanya Allah-lah satu-satunya yang disembah dan dijadikan tujuan. Artinya, ikhlas ini berarti membersihkan perbuatan dari pandangan makhluk.

Sebagai rujukan bagaimana cara mengukur kualitas ikhlas ini, ada baiknya kita kutif pendapat Syekh Izudin bin Abdul Salam (dalam Qawaidul Ahkam fi Masalihil Anam). Ikhlas menurutnya adalah seseorang melaksanakan ketaatan hanya murni kepada Allah, tidak mengharapkan sanjungan atau pujian dan penghormatan dari manusia. Dalam praktiknya, ikhlas ini memiliki lima derajat. Pertama, seseorang melaksanakan ketaatan karena takut azab-Nya. Kedua, seseorang melaksanakan ketaatan karena mengharapkan pahala-Nya. Ketiga, seseorang melaksanakan ketaatan karena malu kepada-Nya. Keempat, seseorang melaksanakan ketaatan karena cinta kepada-Nya. Kelima, seseorang melaksanakan ketaatan karena mengagungkan-Nya. Masuk golongan mana kita?

Apa saja yang termasuk ke dalam faktor-faktor pendorong agar kita ikhlas? Dalam hal ini, Abdul Muhsin bin Muhammad Qasim (dalam Khutuwat ilas Saadah) mengemukakannya sebagai berikut. Pertama, berdoa agar kita menjadi orang ikhlas. Kedua, menyembunyikan amalan kita. Artinya, tidak ingin dilihat orang lain. Ketiga, melihat contoh orang-orang saleh seperti para Nabi, para ulama, dan yang lainnya. Keempat, merasa khawatir tidak diterimanya amal. Kelima, tidak terpengaruh dengan ucapan orang lain. Artinya, terserah orang lain mau bilang apa, asalkan kita tujuannya karena Allah.

Selanjutnya, domain ikhlas itu dalam ibadah apa saja? Abdul Muhsin bin Muhammad Qasim mengemukakan sebagian orang menganggap ikhlas itu hanya sebatas dalam salat, puasa, membaca Alquran dan amal lainnya. Padahal ikhlas itu berlaku dalam semua ibadah tak terkecuali contohnya dengan silaturahim, berbuat baik kepada kedua orang tua, hidup dalam menjalani bahtera rumah tangga, dan muamalah lainnya yang tergolong ke dalam muamalah maliah seperi jual beli, sewa-menyewa, dan yang lainnya. Artinya, setiap perbuatan yang apabila kita ingin dicintai dan diridai-Nya, maka dianjurkan ikhlas di dalamnya.

Selanjutnya, masihkah kita ingat hadis riwayat Imam Enam (Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasai, dan Ibnu Majah) dari Umar bin Khattab terkait peristiwa hijrah. Di dalamnya diceritakan ada salah seorang sahabat yang di samping niatnya ikhlas hijrah, juga niatnya ingin menikahi wanita cantik di Madinah.

Imam Nawawi (dalam Asbabu Wurudil Hadis au al-Luma fi Asbabil Hadis) memberikan penjelasan terhadap hadis tersebut: "Seseorang yang mencari wanita untuk dinikahi dan niatnya itu digabungkan dengan hijrah, maka ia mendapatkan pahala hijrah, namun pahalanya tidak bisa disejajarkan dengan mereka yang hijrahnya itu secara ikhlas. Demikian pula halnya dengan orang yang berniat menikahi wanita melalui hijrah tapi tanpa disertai niat hijrah." Selanjutnya Imam Gazali menambahkan manakala tujuan dunianya lebih menonjol, maka ia tidak memperoleh pahala. Namun apabila maksudnya ibadah, maka ia diberi pahala. Akan tetapi apabila bobot kedua niatnya sama, maka ia tidak akan memperoleh pahala.

Dari apa yang dipaparkan cerita di atas,  ulama menarik sebuah kaidah fikih asasiah yang terkenal dengan “segala sesuatu tergantung tujuannya.” Kemudian, kita pun dapat menarik suatu kesimpulan bahwa ikhlas yang ada pada masing-masing kita memiliki bobot yang berbeda. Tentunya hal ini wajar, mengingat masing-masing kita memiliki kualitas iman yang berbeda pula. Misalnya kualitas ikhlas para Nabi, para sahabat, para ulama, tentunya berbeda dengan kita. Namun demikian, setahap demi setahap kita pun bisa terus meningkatkan kualitas ikhlas tersebut. Tentunya hal ini tidak terlepas dari latihan, di samping mempunyai tekad dan keyakinan. Mudah-mudahan kita semua termasuk orang yang bisa melakukan semua itu. Amin.

Comments

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah