Filosofi Wudu
Melaksanakan wudu bagi umat Islam merupakan hal yang rutin dilakukan
setiap hari. Hal ini mengingat kedudukannya merupakan ajaran penting bagi umat
Islam, yakni sebagai sarana bersuci agar terbebas dari hadas kecil karena akan
melaksanakan salat. Para ulama pun memberi definisi khusus terkait dengannya.
Misalnya, Wahbah Zuhaili (dalam Al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu) mengutif
pendapat ulama yang mengatakan bahwa wudu adalah bersuci yang telah ditentukan
atau perbuatan tertentu yang diawali dengan niat. Perbuatan tertentu di sini
maksudnya seperti membasuh muka, membasuh kedua tangan, mengusap kepala, dan
membasuh kedua kaki.
Urgensi wudu tersebut dalam fikih Islam dikatakan sebagai media
agar salat kita sah. Oleh karena itu, kedudukannya menjadi wajib bagi orang
yang akan salat. Sehingga para ulama, seperti Tajudin Al-Subki (dalam Al-Asybah
wan Nazair) mengeluarkan sebuah kaidah fikih: “Sebuah kewajiban tidak
akan sempurna kecuali dengan sesuatu itu, maka kedudukan sesuatu itu hukumnya
wajib pula.”
Ajaran-ajaran Islam—seperti wudu—di samping mengandung banyak
keutamaan sebagaimana dijelaskan Nabi Saw, juga mengandung makna filosofi bagi
kehidupan. Hal ini tentunya merupakan kebijakan pembuat hukum itu sendiri,
yakni Allah Swt. Tujuannya di antaranya untuk kemaslahatan manusia itu
sendiri. Di mana ada hukum, maka di situlah terdapat kemaslahatan. Namun, pada
umumnya manusia tidak memahami rahasia-rahasia atau ruh yang terkandung dalam
pensyariatan hukum tersebut.
Para ulama tidak hanya membahas dari segi hukum, misalnya rukun,
syarat, serta hukum lainnya yang terkait dengan wudu serta ibadah lainnya dan ditambah dengan persoalan muamalah. Namun, terdapat juga para ulama yang
fokus membahas secara khusus makna filosofi dari pensyariatan hukumnya. Sebut saja di antaranya misalnya, Ali
Al-Jurjawi (dalam Hikmatut Tasyri wa Falsafatuhu) dan Syah Waliyullah
Al-Dahlawi (dalam Hujjatullahil Baligah).
Ali Al-Jurjawi mengemukakan salah satu rahasia hukum terkait dengan wudu yang tergolong hukumnya sunat seperti berkumur-kumur. Tujuanya agar mengeluarkan sisa-sisa makanan yang ada di antara gigi. Selain itu juga dapat merasakan rasa air yang aslinya. Selanjutnya anggota wudu yang wajib dibasuh seperti wajah yang berfungsi membersihkan keringat, sehingga wajah kelihatan menjadi bersih dan yang tak kalah pentingnya membersihkan kotoran atau dosa, karena di dalam wajah terdapat kedua mata yang biasa kita melihat dengannya yang tidak mustahil dari hal demikian.
Selanjutnya membasuh kedua tangan terdapat hikmah juga, yakni
keduanya pada umumnya di setiap waktu selalu terbuka, sehingga memungkinkan
bersentuhan dengan kotoran-kotoran atau dosa. Juga mengusap kepala, karena ia
sumber tempat keluarnya keringat. Selain itu karena di dalamnya ada alat yang
berfungsi untuk berpikir, yakni otak. Maka, dengan wudu membersihkan kotoran
atau dosa karena memikirkan sesuatu yang terlarang. Juga membasuh kedua
telinga--walaupun hukumnya sunat-- namun terdapat hikmahnya, yakni termasuk
anggota badan seperti halnya kedua tangan yang senantiasa terbuka menerima
kotoron atau dosa seperti mendengarkan hal-hal yang dilarang. Terakhir
kewajiban membasuh kaki, itu pun hal yang sama memungkinkan terdapat kotoran
atau dosa karena melangkah kepada hal yang dilarang.
Kemudian selain hal di atas, ada juga makna filosofi lainnya dari
wudu tersebut bagi kehidupan sehari-hari. Di antaranya terkait dengan upaya
penegakan hukum atau kepemimpinan atau keteladanan. Hal ini bisa kita telaah
dari pertanyaan penting, kenapa dalam membasuh anggota wudu diharuskan
berurutan (tertib). Artinya harus diawali
dari membasuh anggota wudu yang paling atas terus ke bawah. Jika tidak
demikian, maka wudunya dikatakan tidak sah. Hal ini tentunya berbeda dengan
kewajiban mandi, yang dibolehkan diawali membasuhnya dari anggota mana saja.
Hal demikian berarti mengindikasikan terdapat makna filosofi juga
dari wudu tersebut. Misalnya, yang terkait dengan upaya penegakan hukum,
seperti menghindari perbuatan korupsi harus diawali dari pejabat yang levelnya lebih
tinggi. Artinya, dalam rangka memberangus korupsi di negara kita, maka atasan
atau pejabat yang levelnya paling tinggi duluan yang harus berupaya menjadi
teladan pertama. Apabila, hal itu sudah dilakukan, maka pejabat yang berada di level
bawah pun akan mengikutinya. Hal yang tak ketinggalan juga keteladanan pimpinan
atau atasan di setiap tempat kita bekerja. Jika keteladanan seperti ini telah menjadi
tontonan dan tuntunan, maka di tingkat grass root dapat diwujudkan
oleh setiap pemimpin keluarga. Hal inilah menurut penulis disebut dengan “jihad
melalui keteladanan.” Mudah-mudahan kita semua dapat mengamalkan makna filosofi
wudu tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Amin Ya Mujibassailin.
Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:
Hidayat, Enang (2017, 02 Agustus). Filosofi Wudu [Entri blog]. Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2017/08/filosofi-wudu.html
Comments
Post a Comment