Kemerdekaan Hissi dan Maknawi


Alhamdulillah hari ini kita bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan yang ke-72. Hal ini berkat jasa, perjuangan, kerja keras serta jihad para pahlawan yang tanpa pamrih ikut mengusir penjajahan di muka bumi tercinta ini. Namun, di balik itu semua tentunya tidak terlepas dari rahmat dan pertolongan Allah Swt. Setinggi apapun impian dan sekeras apapun usaha kita semua kalau tanpa ada rahmat dan pertolongan-Nya tidak akan terwujud.  

Kemerdekaan atau kebebasan menurut Rohi Baalbaki (dalam kamus Al-Maurid) bermakna independence; autonomy. Sedangkan kemerdekaan atau kebebasan dalam istilah bahasa Arab disebut dengan al-istiqlal. Ibnu Manzur (dalam Lisanul Arab) mengemukakan kata al-istiqlal ini mengandung dua makna, yakni al-irtifa', yang berarti kenaikan, dan al-istibdad, yang berarti tindakan sewenang-wenang  (autocracy, absolutism). Tentunya makna terakhir ini berkonotasi negatif dan tidak dikehendaki dalam tulisan ini. Maknanya berupa al-irtifa' secara implisit mengandung arti bangsa Indonesia mendapat hadiah dari Allah dengan cara menaikkan derajatnya, asalnya terjajah jadi tidak. Karena pada hakikatnya penjajahan itu merupakan ujan bagi bangsa Indonesia.   

Selanjutnya Luis Makluf (dalam Al-Munjid) mendefinisikan al-istiqlal dengan sebuah negara yang mandiri dalam menjalankan hukumnya. Artinya, tanpa adanya campur tangan dari pihak atau negara manapun. Sedangkan Al-Mausuah al-Fiqhiyah mendefinisikan al-istiqlal dengan ketergantungan terhadap diri sendiri. Dari makna terakhir ini, kita bisa menyimpulkan bangsa yang merdeka adalah bangsa yang tidak tergantung pada negara lain.

Kemerdekaan menurut penulis pada hakikatnya bisa bermakna ganda. Pertama, kemerdekaan yang bersifat hissi, yakni kemerdekaan dari hal-hal yang bersifat panca indera atau yang nampak kelihatan secara lahir, seperti kemerdekaan kita sehari-hari dari campur tangan atau jajahan orang lain. Tentunya yang namanya hidup terus-menerus terjajah oleh orang lain tidak enak. Atau kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain. Kedua, kemerdekaan yang bersifat maknawi, yakni kemerdekaan dari hal-hal yang bersifat batin atau yang tidak kelihatan secara lahir oleh mata kepala sendiri, seperti kemerdekaan dari penjajahan hawa nafsu yang senantiasa merongrong kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya kemerdekaan seperti ini sulit. Namun, terdapat cara agar kita bisa mengatasinya, yaitu dengan memerlukan latihan yang intens, seperti dengan memperbanyak zikir, sering melakukan salat tahajud dan puasa. Mengapa demikian? Kita masih ingat penjelasan Rasulullah riwayat Safiah bin Huyayin (salah seorang isterinya) tentang berjalannya setan di tempat berjalannya darah manusia (HR. Bukhari Muslim). 

Hadis tersebut mengindikasikan bahwa hawa nafsu itu senantiasa merongrong sepanjang kita masih hidup. Karenanya, contoh ketiga hal tersebut paling tidak untuk meminimalisir dan sebagai terapi jiwa penghambat hawa nafsu. Bahkan, Imam Gazali (dalam Ihya Ulumudin) mengemukakan bahwa puasa sebagai sarana untuk mengalahkan hawa nafsu.

Usaha lahir komponen bangsa Indonesia dengan cara menghapus sistem atau birokrasi yang mempertahankan budaya korup yang diawali dari pejabat yang levelnya paling tinggi terus sampai ke bawah sebagaimana telah penulis kemukakan sebelumnya terkait dengan tulisan “filosofi wudu”, termasuk usaha bangsa Indonesia melawan penjajahan juga. Kemudian dilengkapi dengan usaha batin komponen bangsa Indonesia dengan cara merasa takut dan senantiasa merasa diawasi oleh pengawas yang tidak akan salah dalam memantau dan merekam gerak-gerik kita dalam melakukan aktivitas di kehidupan sehari-hari, yakni pengawasan malaikat Rakib Atid atas perintah Allah Swt.

Syukur alhamdulillah kita sebagai bangsa Indonesia lahir bukan di zaman perbudakan sebagaimana yang dialami tempo dulu. Namun, pada hakikatnya apabila kita belum bisa menghindari perbudakan hawa nafsu yang berusaha mendorong kita menghalalkan segala macam cara karena keserakahan diri kita terhadap harta dan jabatan, maka pada hakikatnya kita masih terjajah oleh musuh yang tidak hanya dapat menjerumuskan kita kepada kehancuran hidup di dunia, tapi akhirat juga. 

Mudah-mudahan kita semua mampu mempertahankan dan mengisi kemerdekaan ini dengan cara mensyukuri nikmat yang telah dianugerahkan Allah, yakni terus meningkatkan amal saleh serta senantiasa mampu memerangi penjajahan hawa nafsu yang senantiasa merongrong kehidupan kita. Amin Ya Mujibassailin. Selamat HUT RI ke-72. Merdeka! Merdeka! Merdeka!


Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:

Hidayat, Enang (2020, 23 Agustus). Kemerdekaan Hissi dan Maknawi [Entri blog].  Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2017/08/kemerdekaan-hissi-maknawi.html. 


Comments

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah