Sabar Badani dan Nafsani (Renungan Menyambut Idul Adha)
Sebentar lagi kita akan merayakan hari raya Idul Adha. Kenapa hari
itu dikatakan hari raya Idul Adha? Yakub sebagaimana dikutif Ibnu Manzur (dalam Lisanul Arab)
berpendapat karena pada hari itu orang-orang berkumpul untuk menyembelih hewan,
yakni kambing. Penyembelihan hewan kambing ini sebagai bentuk wujud mendekatkan
diri kepada Allah. Hewan itulah dinamakan dengan hewan kurban. Kata “kurban”
(bahasa Arab ditulis Al-Qurbanu) berasal dari bahasa Arab, yakni qaruba
yang berarti dekat.
Makna asal kurban menurut penjelasan Ibnu Manzur berarti
orang-orang mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mengalirkan darahnya
melalui jihad. Tentunya jihad yang dimaksud di sini bermakna sempit, yakni
mengangkat senjata di medan perang. Kemudian makna kurban tersebut berubah
menjadi mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara menyembelih hewan sapi,
kambing, dan unta. Hal inilah sebagaimana yang dialami melalui kisah kesabaran Nabi
Ibrahim dan putranya, Ismail. Sebelum membahas panjang lebar terkait kisah ini,
mari kita jelaskan dulu pengertian apa itu sabar.
Sabar menurut Ibnu Manzur berarti
kebalikan dari cemas atau risau (al-Jaz’u). Maksudnya adalah menahan
diri untuk tidak cemas atau risau ketika menghadapi permasalahan. Al-Zubadi
(dalam Tajul Arus) mendefinisikan sabar dengan menahan dan mencegah
ketika dalam kondisi sempit. Maksudnya menahan jiwa dari rasa cemas, menahan
lisan dari mengeluh atau protes, menahan anggota tubuh dari hal-hal yang dapat
mengganggu ketenangan.
Sementara itu, Ragib Al-Asfahani (dalam Al-Mufradat fi Garibil
Quran) mendefinisikan sabar dengan menahan diri dari hal-hal yang
dituntut atau dikehendaki oleh akal dan agama. Maksudnya tentu secara implisit masih
ada hubungannya dengan sabar yang dikemukakan oleh Ibnu Manzur dan Al-Zubaidi
di atas. Misalnya, jika kita dihadapkan sebuah permasalahan, maka dilarang
untuk melakukan suatu hal yang dapat merusak diri seperti meminum minuman yang
dapat memabukkan atau berurusan dengan narkoba. Menurut akal semua itu jelas
dapat merusak diri atau jiwa atau kesehatan dan agama pun telah melarangnya.
Menurut Ragib Al-Asfahani, sabar ini merupakan bentuk kata yang
mengandung makna general dan dapat berlawanan di antara nama atau istilah lainnya
sesuai dengan situasi yang dihadapi kita. Artinya, jika kita mampu menahan diri
ketika ditimpa musibah, maka disebut dengan sabar, kebalikannya rasa cemas;
mampu menahan diri ketika sedang berperang, maka disebut dengan pemberani,
kebalikannya penakut; mampu menahan diri ketika sedang gelisah atau galau, maka
disebut lapang dada, kebalikannya bosan. Semua kondisi tersebut oleh Allah
disebut dengan sabar. Hal ini sesuai dengan firman-Nya yang menjelaskan tentang
kebajikan bagi orang-orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada
masa peperangan (Surah Albaqarah: 177) dan penjelasan terkait dengan
orang-orang yang akan dapat kabar gembira karena sabar ketika ditimpa musibah
(Surah Alhajj: 35).
Definisi sabar menurut penulis adalah kondisi kejiwaaan yang mampu menahan diri dari hal-hal yang dapat mengakibatkan
tidak memberikan manfaat baik bagi agama, jiwa, keturunan, akal, harta dan bangsa. Namun,
sabar di sini tidak identik dengan sikap pasif, yakni sama sekali tidak mencari
solusi yang dapat mengatasi masalah yang ada. Dengan kata lain mesti adanya
usaha aktif untuk mengubah menjadi lebih baik. Oleh karena itu kiranya tepat
sekali apabila dikatakan jangan dulu menyerah pada takdir sebelum adanya usaha
yang maksimal.
Kalau kita menelusuri ayat Alquran dan hadis banyak petunjuk yang
menganjurkan agar kita bersabar dan kita pun menemukan banyak keutamaan dari
sifat tersebut. Salah satunya yang baru saja telah dikemukakan akan diberi
kabar gembira oleh Allah, juga petunjuk Rasulullah tentang kesabaran itu adalah
sinar (HR. Muslim dari Abu Malik Al-Asyari). Artinya, orang yang memiliki sifat
sabar akan diberikan sinar dan petunjuk untuk melakukan kebenaran.
Sifat sabar membentuk pribadi seseorang, tak terkecuali dengan diri
Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail juga keluarganya. Mengapa disebut demikian? Nabi
Ibrahim sebagaimana kita ketahui ketika berada di Babilonia beliau berjuang
dengan dakwah kepada kaumnya dan Namrud bin Kan’an agar menyembah Allah. Karena
selama ini yang mereka sembah hanya berhala-berhala yang tidak ada manfaatnya dan
tidak memberikan pertolongan apapun. Bahkan, beliau juga sampai berhadapan
dengan ayahnya sendiri, yakni Azar yang sama-sama melakukan perbuatan tersebut
seperti kaumnya. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat firman Allah dalam Surah
Maryam: 42-45. Resiko yang dihadapi Nabi Ibrahim ketika itu tentunya berat sekali,
sehingga ketika itu beliau mendapat hukuman dari kezaliman Namrud bin Kan’an
yang melemparkannya ke dalam api. Namun, Allah tidak tinggal diam atas
perbuatan zalim Namrud tersebut, sehingga diselamatkanlah beliau dari api
(Surah Alanbiya: 69).
Ujian Nabi Ibrahim yang disertai kesabaran akhirnya berujung
kegembiraan dari Allah. Kegembiraaan apa yang dimaksud? Setelah meninggalkan
kaumnya, yakni di Babilonia, kemudian beliau hijrah ke Syam. Di sana beliau
terus-menerus berdoa kepada-Nya agar dikaruniai keturunan yang saleh (Surah
As-Saffat: 100). Akhirnya Allah mengabulkan permintaannya tersebut, yakni memberinya
kabar gembira akan lahir seorang putra (dari Siti Hajar), yang mempunyai sifat sabar.
Itulah Ismail, yang kelak akan jadi seorang Nabi pula sama seperti ayahnya. Kendatipun
demikian, menurut riwayat sebagaimana dijelaskan Hasan Ayub (dalam Qisasul
Anbiya) ketika itu beliau sudah berusia 86 tahun. Tentunya usia
tersebut untuk ukuran zaman sekarang sudah tua renta.
Namun ujian datang lagi kepada beliau. Ujian apa itu? Tatkala usia
Ismail sudah menginjak remaja sekitar usia 13 tahun, beliau bermimpi harus
menyembelihnya. Menurut riwayat sebagaimana dijelaskan Wahbah Zuhaili (dalam Tafsir
Munir) dan Al-Qurtubi (dalam Al-Jami li Ahkamil Quran) ketika itu beliau bermimpi sampai tiga kali berturut-turut. Mimpi pada
malam pertama, beliau masih ragu apakah mimpi itu berasal dari Allah atau dari
syetan. Itulah yang disebut pada siangnya dengan hari ragu-ragu (yaumut tarwiah),
yakni tanggal 8 Zulhijah. Kemudian beliau mengalami mimpi yang sama pada malam
kedua, namun kali ini beliau meyakini mimpi tersebut berasal dari Allah. Itulah
yang disebut siangnya dengan hari arafah (yaumul arafah), yakni pada
tanggal 9 Zulhijah. Selanjutnya pada malam ketiga beliau bermimpi lagi
sebagaimana malam sebelumnya dan mimpi kali ini beliau lebih meyakininya berasal
dari Allah dan bermaksud akan menyembelih putranya pada esok harinya, yakni tanggal
10 Zulhijah. Kemudian mimpi tersebut disampaikannya kepada Ismail dan meminta
pendapatnya. Apa jawabannya: “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan
Allah kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
(Surah As-Saffat: 102).
Tatkala keduanya berserah diri dan tunduk atas perintah Allah
tersebut, Nabi Ibrahim membaringkan
putranya (Ismail) atas pelipisnya, yakni meletakkan pelipis putranya di atas
tanah agar beliau tidak melihat putranya yang kemudian dapat menyebabkan
timbulnya rasa kasihan seorang bapak. Menurut riwayat lain Ismail memohon
kepada bapaknya agar disembelih dalam keadaan sedang sujud dan melarang untuk
memandangnya.
Apakah jadi Nabi Ibrahim menyembelih putranya? Ketika itu malaikat
Jibril memanggilnya dan berkata kepadanya: “Wahai Ibrahim, cukuplah apa yang
engkau lakukan dan engkau telah membenarkan mimpi itu dan ini ambillah seekor
domba dari surga, kemudian sembelihlah.” Dalam Alquran, Allah menggantinya
dengan seeekor sembelihan yang besar (Surah As-Saffat: 106-107). Menurut
riwayat Ibnu Abas sebagaimana dijelaskan Al-Qurtubi seekor sembelihan
tersebut berupa seekor domba jantan yang berasal dari Habil ketika ia akan
mempersembahkannya untuk kurban dan digembalanya di surga selama empat puluh
tahun. Karenanya wajar kalau sembelihan tersebut besar (gemuk).
Buah kesabaran inilah beliau mendapatkan kabar gembira lagi, yakni dikarunianya
seorang putra lagi, Ishak (dari Siti Sarah) yang kelak akan menjadi seorang
Nabi pula. Kendatipun demikian menurut riwayat sebagaimana dijelaskan Hasan
Ayub ketika itu beliau sudah berusia 99 tahun. Tentunya sudah lebih
tua renta dari sebelumnya, yakni ketika dianugerahi Ismail. Untuk lebih lanjut penjelasan
lengkapnya terkait kisah di atas, bisa dibaca karya para ulama lainnya dalam
beragam referensi lainnya juga.
Demikianlah kisah kesabaran Nabi Ibrahim dan keluargaya yang
memberikan inspiratif kepada kita semua betapa sungguh bahagianya apabila kita
dianugerahi keluarga saleh dan sabar. Hal ini tentunya harus diawali oleh figur
orang tua yang menjadi teladan pertama, seperti tidak mendahulukan emosi ketika
terjadi permasalahan di keluarga. Bahkan, tidak hanya di lingkungan keluarga
saja, di tempat kita berkerja pun figur kesabaran pemimpin menjadi hal yang
penting dalam memecahkan setiap persoalan yang terkait dengan pekerjaan.
Terlebih lagi dalam ruang lingkup yang lebih luas seperti pemimpin negara. Tak
terkecuali kesabaran kita semua dalam menggapai sebuah impian yang belum
terwujud dengan terus berjuang tanpa mengenal lelah dan tidak mendahului
takdir.
Kesabaran ini secara umum oleh para ulama seperti Ibnu Qudamah
(dalam Mukhtasar Minhajul Qasidin),dibaginya menjadi dua bagian. Pertama, sabar
badani, yakni sabar yang terkait dengan aktivitas dalam kehidupan
sehari-hari yang membutuhkan tenaga banyak. Kedua, sabar nafsani, yakni
sabar yang terkait dengan mengendalikan hawa nafsu yang selalu merongrong
selama kita masih hidup. Pada praktiknya kedua macam sabar tersebut saling
berhubungan.
Kedua macam sabar tersebut secara implisit mencakup domain sabar yang
dikemukakan oleh ulama lainnya, yakni sabar ketika melaksanakan ketaatan, sabar
ketika meninggalkan maksiat, dan sabar ketika ditimpa ujian dan musibah. Tentunya
Nabi Ibrahim dan keluarganya telah mencapai kedua macam sabar tersebut. Mudah-mudahan kita semua termasuk orang yang
sabar dan mampu meneladani kesabaran Nabi Ibrahim serta keluarganya. Amin.
Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:
Hidayat, Enang (2017, 13 Agustus). Sabar Badani dan Nafsani (Renungan Menyambut Idul Adha) [Entri blog]. Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2017/08/sabar-badani-renungan-menyambut-idul.html
Terimakasih atas ilmunya. Muagi lebih bermanfaat
ReplyDeleteSama-sama..Amin..Terimakasih juga doanya..
Delete