Urgensi Ibadah Sosial

Sudahkah kita berjiwa sosial dengan cara memerhatikan nasib orang banyak dengan apa yang kita punya? Untuk menjawab hal tersebut, ada baiknya sebelumnya mari kita renungkan perkataan Imam Jalaludin Suyuti (dalam Al-Asybah wan Nazair) melalui kaidah fikih sebagai berikut: “Al-Mutaaddi Afdalu minal Qasir” (Perbuatan ibadah yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama daripada hanya sebatas untuk kepentingan sendiri).

Maksud kaidah tersebut adalah ibadah yang manfaatnya lebih luas, tidak hanya dirasakan oleh diri sendiri, tapi dapat dirasakan juga oleh orang banyak, sekalipun orang banyak tidak ikut serta melaksanakannya, maka ibadah itu lebih utama daripada ibadah yang manfaatnya hanya sekedar dapat dirasakan oleh diri sendiri. Misalnya, seperti sedekah, wakaf, mencari ilmu, amar makruf nahyi munkar, kurban, dan ibadah lainnya yang termasuk ke dalam ibadah sosial.

Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa ibadah sosial lebih utama dari pada ibadah individual. Namun, bukan berarti sama sekali ibadah individual tidak perlu dilakukan, karena cukup saja dengan mengerjakan ibadah sosial. Maksudnya adalah setelah seseorang mengerjakan ibadah individual, seperti salat, puasa, haji, dan yang lainnya, kemudian jangan sampai mengabaikan ibadah sosial yang manfaatnya lebih besar, karena berkenaan dengan hajat orang banyak. 

Namun demikian, bagi Syekh Izudin bin Abdul Salam--sebagaimana dikutif Imam Jalaludin Suyuti--, kaidah di atas tidak mutlak ibadah yang memiliki keutamaan itu yang tergolong ibadah sosial, karena terkadang ibadah yang manfaatnya khusus untuk diri sendiri lebih utama, seperti iman kepada Allah, jihad, dan haji mabur, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi riwayat Abu Hurairah.

Terlepas dari kontroversi terkait dengan kaidah tersebut, yang jelas dalam kapasitasnya kita sebagai makhluk sosial, ibadah sosial memberikan manfaat untuk banyak orang dengan catatan tidak mengabaikan ibadah individual sebagaimana telah disebutkan tadi. Karenanya, pantas saja hadis Rasulullah riwayat Abu Hurairah—sebagaimana kita ketahui--menerangkan semua amal manusia akan terputus kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya (HR. Muslim). Mayoritas ulama mengemukakan maksud sedekah jariah di sini termasuk menginfakkan harta di jalan Allah melalui wakaf.  

Sebagaimana kita ketahui, melalui wakaf ini, tidak hanya si wakif atau yang mewakafkan saja yang dapat keuntungan di sisi Allah, juga masyarakat umum pun dapat menikmatinya. Tentu saja wakaf yang dimaksud di sini adalah wakaf untuk kepentingan umum (wakaf khairi), seperti untuk pembangunan rumah sakit, jalan, lembaga pendidikan dan sosial untuk membantu kaum yang lemah, dan lainnya yang manfaatnya untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Begitu pun ilmu yang bermanfaat, sebagaimana telah dikemukakan di atas, tidak hanya dapat dirasakan manfaatnya oleh pencari ilmu, namun dapat dirasakan pula oleh masyarakat umum. Tentunya ilmu di sini, tidak sebatas hanya ilmu yang terkait dengan ilmu agama, melainkan ilmu umum juga termasuk. Karena pada hakikatnya dalam Islam, tidak ada pendikotomian dalam hal ilmu. Semuanya bertujuan dalam rangka mencari rida Allah.

Secara implisit memanfaatkan ilmu termasuk sedekah juga. Dengan kata lain, sedekah itu tidak identik dengan harta saja. Menyumbangkan tenaga dan pikiran kita untuk kemaslahatan masyarakat banyak juga termasuk sedekah. Bahkan, senyum atau sifat ramah terhadap orang lain termasuk sedekah juga. Sehingga orang lain merasa nyaman apabila dekat dengan kita.

Begitupun Rasulullah juga dalam riwayat Jabir mengemukakan sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada orang lain. Al-Manawi (dalam Faidul Khabir Syarh Jamius Sagir) menjelaskan maksud memberikan manfaat di sini bisa berbuat baik kepada manusia dengan harta, atau yang lainnya. Dengan demikian, hadis tersebut mengindikasikan keutamaan ibadah sosial. Hal ini tentu sejalan dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial.

Apabila kita kaitkan dengan akad muamalah maliah, ibadah sosial ini termasuk ke dalam akad tabaruah. Artinya, tujuan akad tersebut semata-mata sosial atau derma atau tidak adanya unsur timbal balik atau serah-terima kedua belah pihak terhadap manfaat. Misalnya, akad ariah, wakaf, wasiat, hibah, dan sedekah. Untuk penjelasan lebih lanjutnya terkait maksud akad tersebut, penulis telah membahasnya panjang lebar dalam buku “Transaksi Ekonomi Syariah” yang diterbitkan oleh PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. 

Dengan memerhatikan beragamnya ibadah yang tergolong ibadah sosial yang dikaji oleh para ulama dalam beragam bentuk akad yang praktiknya dalam kehidupan sehari-hari sudah tidak asing lagi, mudah-mudahan kita semua termasuk orang yang telah mengamalkan ibadah yang sesungguhnya lebih banyak manfaatnya.Tentunya bisa memberikan manfaat kepada orang lain sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Amin.


Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:

Hidayat, Enang (2017, 17 Agustus). Urgensi Ibadah Sosial [Entri blog]. Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2017/08/urgensi-ibadah-sosial.html

Comments

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah