Ibadah dan Muamalah


Mayoritas para ulama membagi domain hukum Islam kepada dua bagian, yakni ibadah dan muamalah. Ibadah oleh para ulama sebagaimana dikutif Al-Zubaidi (dalam Taj al-Arus) diartikan dengan ketaatan. Atau melakukan suatu perbuatan yang diridai-Nya. Sedangkan Rawas Qalahji dan Hamid Sadiq Qanibi (dalam Mu'jam Lugat al- Fuqaha) mengartikannya dengan melakukan suatu perbuatan yang terkumpul di dalamnya kesempurnaan kecintaan, rasa takut, dan merendahkan diri di hadapan Allah atau act devotion, performance of rituals, seperti salat, puasa, zakat, dan haji.

Selanjutnya Rawas Qalahji dan Hamid Sadiq Qanibi mengartikan muamalah dengan hukum-hukum syarak yang mengatur pergaulan manusia di dunia. Tentunya muamalah di sini maksudnya bermakna luas, baik berkaitan dengan muamalah maliah, seperti jual beli, sewa-menyewa, dan lain sebagainya, maupun muamalah gair maliah, seperti pernikahan, jinayah, waris, siasah, dan lain sebagainya.

Kaidah Umum Fikih Ibadah dan Muamalah
Para ulama mengemukakan kaidah umum berkaitan dengan fikih ibadah, seperti kaidah: “Hukum asal dalam bidang ibadah adalah mengikuti apa yang sudah ditentukan syarak”. Atau kaidah fikih yang berbunyi: “Hukum asal dalam bidang ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang membolehkannya.”

Makna kaidah pertama adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan ibadah, kita tidak diperbolehkan mengintervensi aturan baku yang sudah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik menambah atau menguranginya. Artinya kita mengikuti petunjuk yang ada sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah, Rasul-Nya, dan para ulama. Oleh karena itu, mengada-ada sesuatu yang tidak ada ada petunjuknya dinamakan dengan bidah

Sedangkan makna kaidah kedua adalah dalam urusan ibadah aturannya ketat, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam pelaksanaannya agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan bidah. Artinya dalam pelaksanaannya diperlukan dalil yang memerintah atau melarangnya. Oleh karena itu siapa pun tidak diperkenankan menafsirkannya apalagi sampai mengubahnya.      

Adapun kaidah umum yang berkaitan dengan urusan muamalah, terutama muamalah dalam arti sempit yakni muamalah maliah, para ulama juga mengeluarkan sebuah kaidah fikih seperti kaidah: “Hukum asal dalam bidang muamalah adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya.” 

Makna kaidah ini adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan bidang muamalah, kita diperbolehkan mengintervensi aturan sesuai dengan situasi yang mengitarinya, karena adanya ilat-nya (rasio legis). Artinya akal manusia dipersilakan syarak untuk menafsirkannya dengan situasi yang ada sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu wajar Rasulullah sendiri pernah mengatakan kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian (HR. Muslim dari Aisyah dan Anas Ra).

Dalam kaitan ini pula, Ibnu Qayim al-Jauziah (dalam I'lam al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin) mengeluarkan sebuah pernyataan yang pantas untuk dijadikan kaidah muamalah juga: “Berubah atau berbedanya fatwa (hukum) karena pertimbangan berubahnya zaman, tempat, keadaan, niat, dan kebiasaan.” Makna perubahan yang dimaksud kaidah tersebut tentunya tidak terlepas dari kemaslahatan yang menjadi tujuan utamanya dan tidak menyimpang dari konteks nas Alquran maupun hadis. 

Karakteristik Ibadah dan Muamalah
Pembagian hukum Islam yang di dalamnya berkaitan dengan ibadah dan muamalah ini oleh ulama seperti Syekh Izudin bin Abdus Salam (dalam Qawaid al-Ahkam fi Masalih. al-Anam) dibaginya menjadi dua, yakni ada yang jenisnya taabudi dan ada yang taakuli. 

Dalam urusan ibadah, taabudi mengandung maksud dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah, manusia mesti taat atau tunduk saja atas perintah dan larangan-Nya. Keduanya (perintah dan larangan) tersebut tidak diketahui ilat-nya, karena tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Contohnya seperti bilangan rakaat salat lima waktu, kewajiban puasa Ramadan, zakat mal dan fitrah, dan melaksanakan haji ke Baitullah. Semuanya itu tidak berubah dan tidak terpengaruh oleh perkembangan zaman. Oleh karena itu, karakteristik bidang ibadah jenis ini statis. 

Sedangkan taakuli maksudnya dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah yang mulia, manusia diberikan akal untuk mengembangkan sarana yang terkait dengan pelaksanaan ibadah, dan ilat-nya dapat diketahui, karena dapat dijangkau oleh akalnya. Contohnya  seperti cabang dari ibadah yang termasuk ke dalam taabudi seperti sarana-sarana atau wasilah yang dapat menghantarkan suksesnya pelaksanaannya, seperti adanya speaker untuk melaksanakan azan ketika akan salat, manajemen zakat melalui peraturan khusus dalam bentuk undang-undang, pengaturan zakat profesi, penggunaan kapal terbang untuk berhaji serta peraturan khusus terkait undang-undang tentang haji, dan lain sebagainya. Sarana-sarana tersebut semuanya mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman.  

Dalam urusan muamalah pun dibaginya menjadi dua bagian, yakni ada yang jenisnya taabudi dan ada yang taakuli. Contoh yang taabudi seperti haramnya beragam jenis riba, dilarang durhaka kepada kedua orang tua, bagian waris anak laki-laki dua kali lipat dari bagian waris anak perempuan, dan lain sebagainya. Ketiga contoh tersebut tidak terpengaruh oleh perkembangan zaman dan kita harus tunduk pada hukum yang ada. Sedangkan contoh taakuli seperti jenis alat tukar-menukar dalam jual beli, munculnya beragam akad, proses ijab kabul, dan lain sebagainya. Bentuk ketiga contoh tersebut praktiknya mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan zaman dan hukumnya diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Oleh karena itu, karakteristik bidang muamalah jenis ini dinamis.  

Perbedaan Esensial Ibadah dan Muamalah
Terdapat perbedaan mendasar antara ibadah dan muamalah. Sulaiman Asqar (dalam Tarikh al-Fiqh al-Islami) mengemukakan bahwa para ulama membedakan keduanya sebagai berikut. 

Pertama, tujuan dasar ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah, mensyukuri nikmat serta mencari keridaan-Nya, seperti ibadah salat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan tujuan dasar muamalah adalah mengatur kehidupan manusia di dunia, untuk memenuhi kebutuhan manusia sehari-hari dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

Kedua, dalam bidang ibadah, pada dasarnya tidak masuk akal, kecuali sarananya (sebagaimana telah dijelaskan di atas). Karenanya bukan wilayah manusia untuk menafsirkannya menurut akalnya. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang menetapkan aturan-aturan yang ada, dan hanya keduanyalah yang mengetahui rahasia-rahasia di dalamnya. Tugas kita hanya mengikuti apa adanya tanpa bertanya-tanya kenapa demikian dan pertanyaan lainnya, seperti kasus yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah pernah ada orang yang bertanya: “Apakah ibadah haji diwajibkan tiap tahun”? Kemudian beliau menjawab: “Seandainya aku menjawab: “Ya”, maka kewajiban haji itu tiap tahun. Selanjutnya beliau bersabda: “Tinggalkan apa-apa yang yang aku tinggalkan untuk kalian, karena kerusakan yang menimpa umat sebelum kalian adalah banyak pertanyaan dan mendebat Nabi mereka.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah). 

Kisah tersebut memberikan petunjuk kepada kita tidak perlu bertanya-tanya tentang ketetapan Allah atas hamba-Nya terkait dengan urusan ibadah, karena sudah jelas dan tegas ketentuannya. Contoh lainnya diwajibkan salat Subuh sebanyak dua rakaat, dan rakaat salat fardu lainnya serta ketetapan salat Zuhur dimulai tatkala tergelincirnya matahari, dan lain sebagainya.

Sedangkan dalam urusan muamalah terutama yang jenisnya taakuli, ada wilayah manusia untuk menafsirkannya menurut akalnya. Karena kapasitas manusia sendiri telah dianugerahi akal oleh Allah dan akal dapat mengetahui rahasia-rahasianya. Oleh karena itu para sahabat sepeninggalnya Rasulullah ketika tidak menemukan ketentuan dalam Alquran dan sunahnya atas permasalahan yang dihadapinya, mereka berijtihad dalam memutuskan permasalahan yang ada, seperti peristiwa pembukuan mushaf Alquran pada zaman Abu Bakar atas saran Umar bin Khatab untuk tujuan kemaslahatan umat. Hal ini dilatarbelakangi karena pada waktu itu banyak penghapal Alquran yang mati syahid pada waktu perang Yamamah. Inilah yang dikaji oleh ulama usul fikih dengan metode maslahah mursalah, yakni tindakan yang sejalan dengan tujuan syarak, yakni untuk meraih kemaslahatan atau menolak kemudaratan, meskipun secara eksplisit tidak ada dalil yang membenarkan atau menggugurkannya.  

Ketiga, dalam urusan bidang ibadah keabsahan dalam pelaksanaannya memerlukan niat mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini tentunya setelah diketahuinya bahwa ibadah itu merupakan perintah-Nya. Sedangkan dalam urusan bidang muamalah, hal itu tidak diperlukan. Kendatipun demikian, seseorang tidak akan mendapatkan pahala apabila tidak berniat mendekatkan diri kepada-Nya, seperti berdagang, dan aktivitas lainnya dalam kehidupan sehari-hari..

Urgensi Memahami Ibadah dan Muamalah
Memahami pengertian ibadah dan muamalah juga perbedaan dasar keduanya dapat mendorong kita bijak dalam menyikapi prinsip-prinsip yang terkandung dalam keduanya juga pembagiannya, sehingga kita tidak salah paham yang berpotensi dapat menimbulkan kejumudan dalam berpikir. Terlebih lagi persoalan muamalah maliah jenis taakuli yang sehari-hari kita sendiri sering mempraktikkannya. Jika kita tidak memahami secara utuh persoalan muamalah ini, maka kita akan mengalami kesulitan. Sebagai contoh seiring perkembangan zaman dalam bidang perdagangan atau jual beli banyak bermunculan seperti jual beli online, dan bisnis lainnya. Selama di dalamnya memenuhi rukun dan syarat jual beli, maka jual beli itu hukumnya sah.

Kemudian ditambah sarana atau tempat berjualan pun sekarang sudah berkembang pula seperti adanya toserba. Tatkala kita bertransaksi di sana untuk keabsahan jual beli diperlukan adanya ijab kabul. Sesuai dengan perkembangan zaman praktik ijab kabul ini cukup dengan saling memberikan sesuatu yang timbul dari akad tersebut. Seperti pembeli mengambil barang yang akan dibeli dan harganya sudah diketahuinya, kemudian ia menyerahkannya ke kasir, dan ia menghitungnya setelah itu diketahui harga semuanya lalu pembeli menyerahkan banyaknya uang sesuai dengan harga yang telah disebutkan tadi. Setelah beres, lalu kasir pun hanya menyebutkan terima kasih. Proses seperti ini secara implisit sudah mengandung ijab kabul dan sah hukumya jual beli tersebut. Ijab kabul untuk kasus seperti itu cukup hanya dengan petunjuk atau maksudnya atau perbuatan, tidak perlu dengan ucapan, seperti ungkapan penjual: “Saya jual beli barang ini kepadamu seharga sekian.” Kemudian pembeli berujar: “Saya beli barang ini seharga sekian.”

Tentunya kebolehan praktik akad di atas berlaku bagi barang yang sudah diketahui secara pasti sebagaimana yang terjadi di toserba. Inilah yang disebut oleh ulama dalam karya mereka dengan baiul muatah. Makanya dari sini para ulama mengeluarkan sebuah kaidah fikih yang berbunyi: “Yang menjadi pertimbangan dalam menilai keabsahan akad adalah dilihat dari segi makna dan tujuan pelaku akad, bukan ucapannya.”

Makna kaidah tersebut sebenarnya mengajak kita untuk berpikir tidak jumud dalam menyikapi perkembangan zaman terutama yang berkaitan dengan urusan muamalah maliah jenis taakuli. Untuk menjembatani masalah tersebut menurut penulis dipandang perlu kita tidak terfokus pada satu pendapat ulama dalam menyikapi permasalahan yang sedang kita hadapi atau hanya konsentrasi mengkaji karya ulama tertentu saja. Sehingga timbulnya fanatisme yang berlebihan dapat terhindari. Adanya upaya bagaimana apakah pendapat tersebut sesuai tidaknya dengan konteks ke-Indonesia-an perlu jadi pertimbangan dalam menganalisa pendapat yang ada. Tentunya hal tersebut berdasarkan perenungan konteks kemaslahatan yang menjadi tujuannya dan dilakukan juga oleh orang-orang yang kompeten, kemudian ia memberitahukannya kepada masyarakat umum. Mudah-mudahan kita semua dapat memahami benar makna ibadah dan muamalah juga masing-masing jenisnya. Amin.


Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:

Hidayat, Enang (2017, 8 September). Ibadah dan Muamalah [Entri blog]. Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2017/09/ibadah-dan-muamalah.html

Comments

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi