Keuntungan Muamalah Maliah
Dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial, manusia tidak lepas dari
interaksi dengan sesamanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Itulah
yang disebut dengan muamalah. Salah satu contohnya saling bertukar harta
atau manfaat antar sesamanya, baik dengan jalan jual-beli, sewa-menyewa atau
saling berbuat derma seperti pinjam-meminjam, hibah, wakaf, dan hadiah. Yang
paling banyak kita lakukan adalah terkait dengan saling tukar menukar harta. Karenanya
muamalah demikian dikenal dengan muamalah maliah. Mengapa demikian? Sudah
menjadi karakter manusia menyenangi harta, siapapun orangnya. Hanya saja di antara
mereka ada yang menyikapinya bahwa semua itu adalah ujian dan menyadari suatu
ketika akan diambil kembali oleh pemiliknya, yakni Allah dan menunaikan
kewajibannya seperti dengan menunaikan zakat. Namun tak sedikit juga ada yang
terperdaya oleh hawa nafsu sehingga harta tersebut menjerumuskannya ke dalam
kerusakan seperti yang dialami oleh Qarun (kisahnya dalam Surah Alqasas:
76-83).
Beragam definisi dikemukakan oleh para ulama terkait dengan harta
yang pada umumnya dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang dapat disimpan,
dimanfaatkan menurut kebiasaan, bernilai dalam pandangan syarak, bisa
dipindahkan kepemilikan zat dan manfaatnya dari satu tangan ke tangan lainnya, baik
untuk selamanya atau sementara waktu. Selanjutnya eksistensi harta itu tak
dapat dipungkiri peranannya selain sebagai perhiasan kehidupan dunia juga
sebagai sarana untuk beribadah kepada-Nya.
Para ulama kontemporer seperti Al-Kibbi (dalam Al-Muamalah
al-Maliah al-Muasirah) menjelaskan keutamaan muamalah maliah ini di
antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, mengantarkan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kedua, memelihara keadilan
dalam menjalankan akad seperti dilarangnya garar dan disyaratkan adanya
keridaan kedua belah pihak. Ketiga, mendatangkan kemaslahatan dan
menolak kemudaratan, seperti diperbolehkannya baius salam, diharamkannya
melakukan penimbunan barang komoditi (ihtikar), diharamkan menawar
barang yang sudah ditawar oleh orang lain dan ketika itu sudah ada kesepakatan
di antara penjual dan pembeli terkait dengan harganya.
Begitu pentingnya muamalah maliah ini. Namun tidak akan
mendatangkan keberkahan bagi seorang muslim apabila tidak memerhatikan
asas-asas yang terkandung di dalamnya. Abdullah Sattar Fathullah (dalam Al-Muamalah
fil Islam) menjelaskan asas-asas tersebut sebagai berikut.
Pertama, takwa kepada
Allah dan mengharapkan balasan-Nya. Takwa ini menjadi asas yang paling pertama dan
utama dalam kehidupan manusia dan sebaik-baiknya bekal. Dengan takwa, maka
manusia akan mendapatkan jalan keluar dari beragam kesulitan dan akan
dianugerahkan rezeki yang tak disangka-sangka.
Kedua, adanya
keseimbangan kebutuhan terkait dengan kebendaan dan ruhani. Artinya dalam Islam
dua kebutuhan tersebut sangat diperhatikan sehingga tidak cukup bagi seorang
muslim hanya perhatiannya terfokus pada terpenuhinya tukar-menukar harta di
antara sesamanya, melainkan unsur tatakrama yang telah dianjurkan Islam perlu
diperhatikan pula seperti kejujuran, ketepatan janji, tidak banyak
sumpah,berangkat pagi dalam berniaga, dan lain sebagainya. Semua itu dapat mengantarkan
seorang muslim kepada jalan keberkahan. Oleh karena itu wajar sekali apabila
Ali Fikri (dalam kitabnya Al-Muamalah al-Madiah wa al-Adabiah) membagi
muamalah ke dalam dua bagian, yakni muamalah madiah dan muamalah
adabiah. Pembahasan terkait dengan hal ini telah penulis kemukakan dalam tulisan
ibadah dan muamalah sebelumnya.
Ketiga, menghubungkan
dunia dengan akhirat. Artinya segala aktivitas seorang muslim di dunia ini
selalu dikaitkan dengan kehidupan kelak di akhirat. Sehingga ketika bermuamalah
keuntungannya akan disalurkan melalui amal jariah seperti zakat, infak,
dan sedekah serta membantu orang-orang yang kesulitan. Dengan kata lain ia
meyakini bahwa dalam hartanya terdapat hak orang lain yang harus ditunaikannya.
Keempat, memelihara
kemaslahatan individu dan masyarakat. Artinya dalam menjalankan muamalah yang
ditekankan tidak hanya terkait dengan kepentingan pribadi saja, tapi
kepentingan umum pun jangan sampai terabaikan. Misalnya setiap individu diberikan
kebebasan menentukan upah atau harga. Hal ini berangkat dari ajaran Islam yang
menjelaskan bahwa penetapan harga diserahkan kepada prilaku pasar. Namun
kebebasan di sini bukan berarti seenaknya setiap individu menetapkan harga
tanpa mempertimbangkan kepentingan produsen lainnya terkait dengan harga
standar atau normal yang berlaku di lapangan. Makanya kenapa Rasulullah dalam
riwayat Anas bin Malik tidak ikut campur menetapkan harga pasar ketika harga
membumbung tinggi di Madinah yang disebabkan bukan karena permainan saudagar-saudagar
Madinah, melainkan karena memang dari sanannya harga pembelian sudah begitu
tinggi. Seandainya ketika itu beliau mengabulkan permintaan penduduk Madinah
agar beliau menetapkan harga, maka dapat berpotensi merugikan para pedagang.
Kemudian mereka tidak akan lagi mendatangkan barang dari luar daerah yang
otomatis berpotensi dapat menambah keadaan lebih lebih parah lagi (HR. Abu
Daud, Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Kelima, memelihara
keadilan. Artinya prinsip pokok dalam muamalah mengutamakan keadilan bagi kedua
belah pihak. Misalnya dalam jual beli yang termasuk akad muawadah,
adanya garar, riba di dalamnya sangat berlawanan dengan prinsip
tersebut. Begitu pun si pembeli tidak merasa tertipu setelah ia memberli barang
dari penjual. Dalam hal ini para ulama mengemukakan sebuah kaidah fikih yang
berbunyi: “Sesungguhnya hukum asal dalam akad muawadah adalah berdasarkan
pada keadilan di antara kedua belah pihak.” Keadilan ini sangat jelas lebih
mendekatkan diri kepada jalan takwa. Karenanya Abu Hurairah pernah meriwayatkan
hadis Rasulullah yang menceritakan seorang muslim dengan muslim lainnya tidak
diperkenankan saling berbuat kezaliman dan saling menghina atau
menjelek-jelekkan satu sama lain. Akan tetapi diperintahkan harus saling
tolong-menolong dan menutupi kesalahan masing-masing (HR. Bukhari Muslim).
Kenyataan di lapangan tidak menutup kemungkinan barangkali kita masih
mendengar seorang pedagang menjelek-jelekkan pedagang lainnya. Mungkin hal itu
disebabkan karena menjadi saingannya. Atau karena iri disebabkan barang dagangannya
laris dan pelanggannya lebih banyak, sementara itu ia sebaliknya. Padahal tidak
perlu sampai berbuat demikian. Justru yang harus dilakukan adalah mengevaluasi kinerja
profesinya saat ini sehingga semakin terus meningkatkannya, baik kualitas
maupun cara pelayanannya. Bahkan hal itu bukan hanya terkait antar profesinya
sebagai pedagang dengan pedagang lainnya yang berhubungan dengan muamalah
maliah. Barangkali juga kita mendengar atau menyaksikan aktivitas terkait
dengan muamalah lainnya. Misalnya tidak sedikit antar petani dengan
petani lainnya saling menjelekkan, juga antar pejabat dengan pejabat
lainnya, antar orang orang alim dengan orang alim lainnya, antar politikus
dengan politikus lainnya, dan hal yang sama dengan beragam profesi lainnya. Semoga
kita semua terhindar dari hal demikian. Amin.
Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:
Hidayat, Enang (2017, 28 September). Keuntungan Muamalah Maliah [Entri blog]. Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2017/09/keuntungan-muamalah-maliah.html
Comments
Post a Comment