Makna Filosofi Kurban (Telaah Maqasidus Syariah)

Alhamdulillah kemarin kita telah melaksanakan salat Idul Adha kemudian setelahnya berkurban. Pada hari ini mulai masuk hari Tasyrik. Apa makna hari Tasyrik tersebut? Para ulama sebagaimana dikutif Ali bin Abdil Kadir (dalam Mujam Fiqhul Lugah) menjelaskan disebut demikian, karena dua hal. Pertama, penyembelihan hewan kurban dimulai setelah terbit matahari (syuruqus syamsi). Kedua, orang-orang pada waktu itu menikmati (yasyruquna) daging kurban di antaranya dengan cara didendengnya. Oleh karena itu, bagi yang belum berkurban, masih ada kesempatan dari mulai sekarang hingga hari Senin sorenya (tanggal 11 sampai 13 Zulhijah). Tulisan ini sebagai pelengkap tulisan sebelumnya terkait dengan kesabaran Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail.

Ali Ahmad Al-Jurjawi (dalam Hikmatut Tasyri wa Falsafatuhu) menjelaskan istilah berkurban bukan pertama kalinya muncul pada masa Nabi Ibrahim saja. Pada masa sebelumnya, yakni pada masa Kabil dan Habil (keduanya putra Nabi Adam) hal itu pernah terjadi. Karena Kabil mempunyai buah-buahan dan tanaman, maka ia berkurban dengannya. Sedangkan Habil, karena ia mempunyai kambing, maka ia berkurban dengannya pula. Akan tetapi kurban yang diterima Allah adalah kurban Habil (Surah Almaidah: 27). Selanjutnya pasca banjir bandang yang terjadi pada zaman Nabi Nuh, orang-orang ketika itu berkurban dengan hewan, dan mereka membakarnya di tempat itu juga. Nabi Ibrahim pun awalnya pernah berkurban dengan mengeluarkan sedekah makanan roti dan yang lainnya. Namun akhirnya pada masa Nabi Ibrahim pula karena diperintah Allah, masyarakat ketika itu berkurban dengan anak sapi betina, kambing betina, dan domba jantan.

Selanjutnya, setiap aturan syariat—termasuk kurban--yang diturunkan Allah kepada hamba-Nya mengandung makna filosofi atau ruh pensyariatan hukum (ruh tasyri). Hal ini tentunya di dalamnya terdapat beragam kemaslahatan yang merupakan bagian dari tujuan hukum Islam itu sendiri. Abu Ishak Al-Syatibi (dalam Al-Muwafaqat fi Usulis Syariah) menjelaskan tujuan tersebut terbagi ke dalam lima hal, yakni menjaga agama (hifzuddin), menjaga jiwa (hifzunnafsi), menjaga keturunan (hifzun nasl), menjaga harta (hifzul mal), dan menjaga akal (hifzul aql). Di mana ada hukum di situlah terdapat kemaslahatan yang terkandung dalam lima hal tersebut. Di mana ada kemaslahatan, maka itulah tujuan hukum Islam (maqasidus syariah).

Kemaslahatan yang terdapat dalam kelima hal di atas masing-masing menurut Abu Ishak Al-Syatibi secara umum terbagi kepada tiga tingkatan. Pertama, kemaslahatan daruriah, yakni kemaslahatan yang bersifat primer atau pokok. Artinya kemaslahatan yang terkait dengan kebutuhan manusia yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut dapat mengancam kelima hal di atas. Kedua, kemaslahatan hajiat, yakni kemaslahatan yang bersifat sekunder. Artinya kemaslahatan yang terkait dengan kebutuhan manusia yang tidak bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Ketiadaan kebutuhan tersebut tidak akan mengancam kelima hal di atas, akan tetapi hanya menjadikan kesempitan bagi kehidupan manusia. Ketiga, kemaslahatan tahsiniat, yakni kemaslahatan yang bersifat tertier atau komplementer. Artinya kemaslahatan yang terkait dengan kebutuhan dan kepatutan manusia yang bersifat penunjang untuk meningkatkan martabat manusia, baik di hadapan manusia maupun di  hadapan pembuat syariat (Allah).  

Ketiga tingkatan kemaslahatan tersebut berlaku baik dalam bidang ibadah, adat, muamalah, maupun jinayat. Kemudian Abu Ishak Al-Syatibi secara eksplisit memasukkan kurban ke dalam kemaslahatan yang tingkatannya tahsiniat terkait bidang ibadah yang tujuannya mendekatkan diri dengan cara melaksanakan kebaikan yang hukumnya sunat. Dalam hal ini sama halnya seperti sedekah dan amalan sunat lainnya.

Menurut penulis, ibadah kurban merupakan bagian dari ajaran syariat Islam yang pada hakikatnya mengandung kemaslahatan terkait kelima hal di atas. Mengapa dikatakan demikian? Mari kita telaah lebih dalam hal tersebut. Pertama, berkurban bertujuan untuk memelihara agama. Artinya, memelihara syariat kurban berarti memelihara warisan syariat terdahulu yang agung, yakni melirik sejarah perjalanan Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail yang terkait dengan kesabaran ketika diuji Allah yakni ketika disuruh Allah untuk mengorbankan putra kesayangannya. Namun hal itu tidak terjadi, karena hal ini semata-semata ujian dari-Nya dan untuk mengukur sampai sejauh mana kecintaan kepada-Nya di atas selain-Nya, termasuk dalam hal ini putranya.

Kedua, berkurban bertujuan untuk memelihara jiwa. Artinya, hakikat berkurban memelihara jiwa atau diri agar terhindar dari sifat egois dan kesombongan. Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah. Karenanya berkurban itu tidak akan sampai daging dan darahnya, akan tetapi ketakwaannya kepada Allah. Dengan demikian, berkurban dapat membangun kesadaran bahwa kita ini kecil di hadapan Allah.

Ketiga, berkurban memelihara keturunan. Artinya, berkurban memelihara karakter atau kepribadian sabar yang dapat diturunkan kepada generasi penerus kita sebagaimana kesabaran Nabi Ibrahim yang diwariskan kepada anaknya, yakni Ismail.  Dengan demikian seorang yang berkurban akan terbentuk dalam dirinya sifat empati atau peduli kepada sesamanya, terlebih lagi kepada yang sangat membutuhkan bantuannya.

Keempat, berkurban memelihara harta. Artinya, berkurban memelihara agar harta kita senantiasa berkah. Karena pada hakikatnya apa yang kita sedekahkan itu tidak akan berkurang, melainkan bertambah. Namun maksud bertambah di sini tidak selalu identik dengan materi saja, melainkan dengan yang lainya seperti diberikan ilmu, kesehatan badan, diberikan keluarga saleh, dan lain sebagainya sebagaimana telah penulis bahas dalam tulisan sebelumnya terkait dengan pembahasan rezeki.

Kelima, berkurban memelihara akal. Artinya, berkurban memelihara bagaimana agar akal kita dapat mengalahkan hawa nafsu. Sehingga akan selalu pandai bersyukur atas nikmat yang ada, dan terus berupaya semaksimal mungkin untuk merubahnya ke arah yang lebih baik dengan prinsip tidak mendahului takdir.

Selanjutnya, berkurban dapat digolongkan kepada tingkatan kemaslahatan yang mana apakah daruriat, hajiat, atau tahsiniat? Menurut penulis, berkurban bisa digolongkan ke dalam ketiganya. Artinya, ibadah kurban termasuk daruriat, karena termasuk ajaran pokok dalam agama, sehingga jika kita tidak memercayainya, maka tergolong kepada orang yang tidak beriman terhadap ajaran Allah sebagaimana telah dijelaskan melalui nas Alquran dan sunah Nabi terkait dengan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail.

Ibadah kurban termasuk hajiat, karena keberadaannya sangat dibutuhkan manusia terutama oleh fakir miskin. Sehingga dengan adanya penyembelihan hewan kurban, mereka dapat menikmati rezeki yang tidak hanya dinikmati oleh orang kaya saja. Kendatipun hukumnya hanya sunat muakkad sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, namun bagi orang yang sudah mampu apabila tidak menunaikannya, maka sabda Rasulullah jangan mendekati tempat salat (HR. Ibnu Majah dan Daruqutni dari Abu Hurairah). Maksud hadis tersebut menurut para ulama bukan berarti sahnya salat tergantung pada kurban, melainkan hukuman berupa dijauhkan dari tempat kebaikan bagi orang yang tidak melaksanakan kurban padahal ia sudah mampu.

Ibadah kurban juga termasuk tahsiniat, karena orang yang melaksanakannya berarti telah mencerminkan akhlak mulia, yakni tidak kikir dan mempunyai rasa empati terhadap sesamanya terutama orang yang sangat membutuhkan. Sehingga digolongkan ibadah kurban ini ke dalam ibadah sosial yang keutamaannya lebih besar dibandingkan dengan ibadah individual sebagaiman telah penulis bahas dalam tulisan sebelumnya terkait dengan urgensi ibadah sosial. Ia pun di hadapan masyarakat mempunyai kedudukan terhormat, terlebih lagi di hadapan Allah.  

Apa saja hikmah yang terkandung dari ibadah kurban ini bagi kita? Hikmah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama seperti Al-Zubaidi (dalam Tajul Arus) diartikan dengan ilmu yang terkait dengan hakikat sesuatu. Maksudnya di sini adalah hakikat berkurban. Dengan kata lain disebut dengan makna filosofi. Oleh karena itu tepat sekali Ali Ahmad Al-Jurjawi menulis sebuah kitab sebagaimana telah disebutkan di atas yang berisi hikmah atau makna filosofi beragam ibadah, muamalah, dan yang lainnya.

Al-Jurjawi menyebutkan salah satu hikmah disyariatkannya kurban ada dua hal. Pertama, menampakkan kesempurnaan ketaatan kepada sang Khalik. Sehingga seandainya Dia memerintahkan untuk mengorbankan kesayangan kita sebagai makhluk-Nya, seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim ketika itu akan menyembelih putranya. Namun karena sebagai bentuk ujian, maka hal tersebut tidak jadi, karena digantinya dengan menyembelih hewan kurban. Kedua, membuktikan rasa syukur atas nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita berupa rezeki sehingga bisa melaksanakan amal saleh, yakni dengan cara berkurban yang manfaatnya dapat dirasakan oleh keluarga dan masyarakat banyak terutama yang membutuhkannya.

Al-Mausuah al-Fiqhiah menyebutkan hikmah ibadah kurban di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, tanda syukur atas nikmat kehidupan. Kedua, menghidupkan sunah Nabi Ibrahim, yakni tatkala Allah menyuruh menyembelih hewan pada hari kurban sebagai tebusan dari putranya. Ketiga, mengingatkan kepada orang yang beriman terkait dengan kesabaran Nabi Ibrahim dan Ismail dan ketaatan keduanya kepada-Nya di atas kecintaannya kepada diri sendiri dan yang lainnya, termasuk anaknya.    

Sementara itu Wahbah Zuhaili (dalam Al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu) menyebutkan hikmah berkurban sebagai berikut. Pertama, tanda syukur atas nikmat Allah yang tiada berbilang. Kedua, menjadi kifarat atau penghapus kesalahan, disebabkan melanggar aturan-Nya. Ketiga, memberikan kelapangan kepada keluarga yang berkurban dan masyarakat lainnya.

Menurut penulis, selain hikmah berkurban sebagaimana yang telah dikemukakan di atas adalah dalam rangka menghilangkan sifat egois dan angkuh yang ada dalam diri kita. Kemudian mengingatkan juga kepada kita bahwa apa yang kita senangi dan kita banggakan yang kita miliki saat ini, seperti kekayaan, jabatan, popularitas, dan lain sebagainya pada waktunya akhirnya akan diuji dan lenyap sesuai dengan kekuasaan Allah. Bahkan anak dan isteri yang kita cintai pun suatu waktu akan ditinggalkan atau mereka lebih dahulu meninggalkan kita. Apakah kita mampu mempertahankannya? Tentu kita tidak akan mampu, karena semua yang ada pada diri kita adalah amanat-Nya dan semuanya milik-Nya serta akan kembali kepada-Nya.

Oleh karena itu, sejatinya dengan berkurban, maka seorang mukmin menyadari semua itu dan terus bertambah syukurnya dengan cara meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta berjiwa sosial. Mengingat karena kurban dianjurkan terkait dengan suasana rangkaian pelaksanaan ibadah haji yang menurut para ulama setiap gerakan dan rangkaiannya pun di dalamnya mengandung makna filosofi juga, maka idealnya juga orang yang telah berhaji dan melaksanakan ibadah kurban, apabila masih terdapat sifat egois dan angkuh dan sifat negatifnya lainnya akan berkurang, bahkan lenyap dalam dirinya. Itulah seorang mukmin yang mampu meresapi makna filosofi haji dan kurban tersebut. Mudah-mudahan kita semua mampu mengamalkan makna filosofi tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan mudah-mudahan juga bangsa kita tercinta ini diberikan keberkahan, kedamaian, kesejahteraan, serta sukses dalam pembangunan.  Amin.


Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:

Hidayat, Enang (2017, 02 September). Makna Filosofi Kurban (Telaah Maqasidus Syariah) [Entri blog]. Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2017/09/makna-filosofi-kurban-telaah-maqasidus.html

Comments

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah