Syariah dan Fikih
Kita sering mendengar dalam kehidupan sehari-hari istilah syariah
dan fikih. Jika kita memahami betul pengertian dan perbedaannya sebagaimana akan
dibahas di depan, maka kita akan bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat yang
ada. Sebelumnya kiranya dipandang perlu terlebih dahulu untuk memahami pengertian keduanya.
Kalau kita membuka kitab-kitab karya ulama terutama terkait dengan
kajian tarikh tasyri atau usul fikih, banyak ditemukan definisi
terkait dengan syariah dalam beragam pengertian menurut bahasa. Namun di sini
penulis hanya akan menjelaskan definisi menurut mayoritas ulama sebagaimana
dikutif oleh Ibnu Manzur (dalam Lisanul Arab) dan Al-Zubaidi (dalam
Tajul Arus) yang mendefinsikannya dengan tempat yang di dalamnya
memancar air (al-mawadi allati yunhadaru ilal mai minha). Atau definisi yang
berasal dari perkataan orang Arab seperti jalan menuju air yang dibutuhkan
manusia (mauridusy syaribah allati yasyrauhannas).
Kemudian Ragib Al-Asfahani (dalam Al-Mufradat fi Garibil Quran) menjelaskan sebagian para ulama menamakan syariat dengan jalan menuju air,
karena orang yang menempuh jalan benar diibaratkan dengan orang yang menuju jalan
ke air. Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa syariah merupakan jalan
manusia untuk mendapatkan kebahagiaan, baik dunia maupun akhirat. Sebagaimana
keberadaan air sangat dibutuhkan manusia, demikian pula syariah pun hal yang
sama sangat dibutuhkan untuk kebahagiaan.
Selanjutnya para ulama dalam mendefinisikan syariah secara istilah beragam
pula. Salah satunya ulama seperti
Mustafa Ahmad Al-Zarqa (dalam Al-Fiqhul Islam fi Tsaubuhil Jadid)
mendefinisikannya dengan nas-nas Alquran
yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, Muhamad Saw dan sunahnya yang terkait
dengan ucapan, perbuatan, dan ketetapannya. Atau apa-apa yang diturunkan Allah
untuk hamba-Nya yang harus ditaatinya, seperti salat, puasa, zakat, haji, dan
yang lainnya sebagaimana mayoritas ulama mendefinisikanya demikian.
Definisi syariah menurut istilah sebagaimana dikemukakan di atas
dapat kita simpulkan bahwa syariah adalah adalah aturan-aturan Allah dan
Rasul-Nya untuk kita yang tidak bisa ditawar lagi dan keberadaannya sudah pasti
dalam agama (ma ulima minaddin biddarurat). Dengan demikian syariah ini
identik dengan agama yang mengandung aturan dan metode atau sistem yang harus
ditaati oleh kita semua. Oleh karena itu wajar sekali ada sebagian ulama
mendefinisikannya dengan agama.
Selanjutnya definsi fikih menurut bahasa disepakati oleh para ulama
dengan memahami (al-fahmu) dan mengetahui (al-ilmu). Dikatakan al-fahmu,
karena fikih ini berisi pemahaman para ulama, sedangkan dikatakan al-ilmu,
karena berisi ilmu tentang hukum Islam. Menurut penjelasan Sulaiman Asqar (dalam
Tarikh Al-Fiqh al-Islami) kedua definisi itulah berasal dari orang Arab
yang pada waktu itu mereka tidak membedakan antara pemahaman atau pengetahuan
yang satu dengan yang lainnya, sehingga setiap orang yang memiliki ilmu ketika
itu disebut fakih atau alim.
Kemudian setelah Islam datang atau yang dikenal pada masa ulama mutakadimin,
kata fakih atau alim lazim digunakan untuk orang yang memiliki
pengetahuan tentang agama. Namun ketika itu fikih belum menjadi disiplin ilmu
tersendiri, sehingga kalau kita menelaah karya Imam Abu Hanifah seperti kitab
Fiqhul Akbar, akan kita dapatkan di dalamnya bahasan tentang akidah atau
tauhid. Padahal dari judulnya sangat jelas disebutkan fikih.
Baru pada masa ulama mutaakhirin, pengertian fikih mengalami
perkembangan sebagaimana yang umumnya dikemukakan para ulama dengan ilmu
tentang hukum Islam bersifat praktis (amaliah) yang digali dalilnya
secara terperinci dengan menggunakan metode ijtihad para ulama. Pada masa ini
fikih sebagai disiplin ilmu tersendiri yang objeknya perbuatan mukalaf seperti
salat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Di dalamnya terkandung hukum taklifi,
seperti wajib, haram, sunat, makruh, dan mubah, juga hukum wad’i yang di
dalamnya terdapat sebab, syarat, dan penghalang sebagaimana telah dijelaskan
oleh para ulama masing-masing pengertiannya.
Dengan demikian fikih adalah berisi pemahaman atau penafsiran para
ulama atas pemahamnnya terhadap nas syariah berupa Alquran dan hadis dengan
menggunakan metode ijtihad masing-masing. Tentunya yang namanya pemahaman atau
penafsiran tidak terlepas dari perbedaan yang tidak bisa dihindarkan. Perbedaan
tersebut boleh jadi karena dilatarbelakangi oleh budaya atau kultur mereka masing-masing
atau pemahaman terhadap dalil nas tadi. Namun demikian, perbedaan tersebut
menjadi ciri khas yang mewarnai fikih, sehingga hal tersebut direspon oleh
Qatadah sebagaimana dikutif Ibnu Abdil Barr (dalam Jamiul Bayanil Ilmi wa
Fadlihi) dengan mengemukakan kata-kata mutiara yang berbunyi: “Barang
siapa tidak mengetahui perbedaan pendapat, maka hidungnya tidak akan dapat
mencium aroma fikih.” Kata-kata
mutiara ini penting untuk kita renungi agar bijak dalam menghadapi perbedaan
pendapat para ulama sehingga tidak menimbulkan fanatisme berlebihan dan
menganggap diri paling benar.
Bagi kebiasaan kita yang hidup di negara tercinta ini, penyebutan
istilah hukum Islam maksudnya tiada lain adalah syariah dan fikih. Namun term hukum
Islam yang ditransformasikan ke dalam hukum perundang-undangan di Indonesia maksudnya
adalah berkaitan dengan fikih. Misalnya pemerintah Indonesia telah menerbitkan
Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) sesuai Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 yang
diikuti pula oleh Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 tahun
1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Di dalamnya
dibahas hukum pernikahan, waris, wakaf, dan wasiat. Kompilasi ini dapat
dikatakan sebagai ijtihad ulama Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, fikih sudah menjadi disiplin
ilmu tersendiri dan belakangan selalu bergandengan dengan kata-kata Islam, sehingga penyebutannya menjadi fikih Islam. Makanya sebagian ulama kontemporer seperti Syekh
Wahbah Zuhaili memberikan judul karyanya dengan Al-Fiqhul Islam wa
Adillatuhu, juga Syekh Mustafa Ahmad Al-Zarqa memberikan judul karyanya
dengan Al-Fiqhul Islam fi Tsaubihil Jadid, dan Al-Tuwaijiri memberkan
judul karyanya dengan Mukhtasarul Fiqhil Islami. Bagi sebagian pakar,
istilah fikih dikenal dengan ilmu hukum Islam (Islamic Jurisprudence). Hal
ini mengingat definisi umum tentang fikih sebagaimana telah dikemukakan di
atas.
Persamaan dan Perbedaan
antara Syariah dan Fikih
Di atas telah
kita ketahui masing-masing pengertian syariah dan fikih. Di bawah ini akan dijelaskan persamaan dan
perbedaan di antara keduanya. Namun perbedaannya lebih banyak dibanding dengan
persamaannya. Keduanya memiliki persamaan, yakni sama-sama membicarakan aturan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari,
baik terkait dengan ibadah, muamalah, dan yang lainnya. Sedangkan perbedaannya
di antaranya sebagaimana dijelaskan Ahmad Sukarja dan Mujar Ibnu Syarif dalam (Tiga
Kategori Hukum: Syariat, Fikih dan Kanun) dan Noel J. Coulson dalam (Conflict
and Tension Islamic Jurisprudence) sebagai berikut.
· Syariah bersumber dari wahyu Allah dan Rasul-Nya, seperti kewajiban
salat lima waktu serta jumlah rakaatnya, keharusan menghadap kiblat ketika salat, kewajiban puasa Ramadan, zakat, ibadah haji bagi yang mampu, haramnya
beragam jenis riba, dan lainnya yang hukumnya sudah pasti (ma ulima
minaddin biddarurat). Sedangkan fikih produk ulama mujtahid, seperti
masalah tertib dan niat dalam wudu, batasan mengusap kepala tatkala wudu, batalnya
wudu tatkala menyentuh lawan jenis yang bukan mahramnya, jumlah rakaat salat Tarawih,
kunut dalam salat Subuh, dan lain sebagainya. Dalam masalah tersebut perbedaan
pendapat tidak dapat dihindari.
· Syariah kebenarannya absolute atau pasti (qat’i), karena
berasal dari Allah dan Rasul-Nya, sedangkan fikih kebenarannya relatif (zanni),
karena berasal dari ulama mujtahid dan pendapatnya mengandung kemungkinan benar
atau salah. Karena dihasilkan melalui ijtihad, maka kemungkinan tersebut menyebabkan
dapat pahala. Apabila ijtihadnya benar, maka pahalanya dua. Sedangkan apabila ijtihadnya salah, maka
pahalanya satu.
· Syariah karakternya statis atau tidak akan mengalami perubahan,
sedangkan fikih karakternya dinamis atau mengalami perubahan sesuai perubahan
zaman dan lingkungan apalagi terkait dengan persoalan muamalah.
· Syariah bersifat universal atau mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia, sedangkan fikih terkait dengan hukum saja.
· Syariah adalah satu (unity), sedangkan fikih adalah beragam
(diversity), karena di dalamnya terdapat beragam pendapat para ulama,
seperti fikih Hanafi, fikih Maliki, fikih Syafii, dan fikih Hanbali.
· Syariah berwatak otoritatif, sedangkan fikih berwatak liberal.
· Syariah bersifat idealistis, sedangkan fikih bercorak realistis.
· Syariah adalah pokok, sedangkan fikih cabangnya. Dengan demikian
fikih bagian dari syariah.
· Syariah kebal terhadap kritik, sedangkan fikih tidak kebal terhadap
kritik.
Urgensi
Memahami Perbedaan antara Syariah dan Fikih
Menurut penulis jika kita mampu memahami secara utuh perbedaan di
antara keduanya, maka akan menghasilkan pola pikir yang bijak dalam menghadapi
permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat. Artinya pandai membedakan mana
permasalahan hukum yang di dalamnya tidak mengandung perbedaan pendapat yang
menjadi ciri khas syariah, dan sebaliknya yakni permasalahan hukum yang di
dalamnya mengandung perbedaaan pendapat yang menjadi ciri khas fikih. Dalam
menyikapi kasus terakhir, maka toleransi di sini sangat diperlukan. Kemudian
fanatisme dengan sendirinya akan hilang dalam diri kita, sehingga dapat mendorong pengkajian keilmuan tidak hanya terfokus
pada karya ulama tertentu dan dijadikannya referensi ketika menemukan
permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat.
Di sinilah perlunya melakukan kajian perbandingan mazhab, seperti di
lembaga pondok pesantren atau di lembaga kajian keislaman lainnya, seperti
mengkaji kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Al-Fiqhu ala
Mazahibil Arbaah karya Al-Jaziri, Al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu
karya Wahbah Zuhaili, dan kitab lainnya baik karya ulama klasik maupun kontemporer.
Atau suatu waktu mengkaji kitab khusus yang berasal dari beragam mazhab.
Misalnya karya ulama Hanafiah, seperti kitab Badais Sanai karya
Al-Kasani; karya ulama Malikiah, seperti Al-Dakhirah karya Al-Qurafi;
karya ulama Syafiiah, seperti Mugnil Muhtaj karya Al-Syarbini; dan karya
ulama Hanabilah, seperti Al-Mugni karya Ibnu Qudamah. Tentunya bagi
orang yang berkompeten melakukan analisa terutama terkait dengan persoalan
muamalah yang mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan zaman. Jika
hal itu sudah terlaksana, insya Allah akan terbuka menerima perbedaan pendapat
para ulama dan kejumudan atau kepicikan dalam berpikir tidak akan terjadi. Selain itu persatuan dan persaudaraan di antara kita akan terjalin dengan kokoh. Tidak saling gontok-gontokan yang berpotensi dapat menyebabkan saling bermusuhan sehingga dapat menyebabkan kemunduran umat Islam. Bukankah kemunduran itu disebabkan karena pemeluknya sendiri? Apalagi di negara kita tercinta ini perbedaan keyakinan dan pemeluk agama sangat dijunjung sekali demi terciptanya suasana yang rukun dan damai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semoga negara kita tercinta ini selalu berada dalam rida Allah. Amin.
Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:
Hidayat, Enang (2017, 15 September). Syariah dan Fikih [Entri blog]. Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2017/09/syariah-dan-fikih.html
Comments
Post a Comment