Apa Itu Safar?

Sebelum membahas apa itu Safar, terlebih dahulu mari kita pahami pembagian bulan dalam satu tahun. Menurut penjelasan Jawadi Ali (dalam Al-Mufassal fi Tarikhil Arab Qablal Islam) orang-orang Jahiliah membagi bulan dalam satu tahun kepada dua bagian. Pertama, asyhurun i’tiyadiah, yakni penamaan bulan tersebut disesuaikan dengan kebiasaan atau peristiwa ketika itu. Ada delapan bulan yang termasuk ke dalam bulan tersebut, yakni Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Syakban, Ramadan, dan Syawal. Orang-orang Arab pada waktu itu menghalalkan melakukan peperangan pada bulan tersebut. Kedua, asyhurun arbaatun hurum, yakni empat bulan yang dimuliakan. Empat bulan dimaksud adalah Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab. Orang-orang Arab mensucikan keempat bulan tersebut, sehingga pada bulan tersebut tidak diperbolehkan melakukan peperangan dan pertumpahan darah.  

Ibnu Manzur (dalam Lisanul Arab) menjelaskan bulan tersebut disebut dengan bulan Safar (Bahasa Arab: Shafar), karena ketika itu orang-orang Arab berjalan melewati makanan yang telah disediakan di bejana-bejana (liannahum yamtarunat ta’am fihi minal mawadi). Menurut sebagian ulama, karena pada waktu itu sebagian penduduk Mekkah terkena penyakit kuning disebabkan mereka bepergian (liisfari makkata min ahliha iza safaru). Menurut sebagian ulama lagi, karena mereka melakukan peperangan dengan kabilah, kemudian mereka meninggalkan orang-orang yang berburu kepada harta rampasan perang. 

Sementara itu menurut penjelasan Ragib Al-Asfahani (dalam Al-Mufradat fi Garibil Quran) disebut bulan itu dengan Safar, karena ketika itu di rumah orang-orang Arab sama sekali tidak ada perbekalan untuk bepergian (likhuluwwi buyutihim fihi minazzadi). Dengan demikian, jelaslah Safar termasuk bulan i’tiyadiah sebagaimana dikemukakan di atas, karena peristiwa tersebut yang melatarbelakanginya.

Selanjutnya jika kita menelaah kitab hadis Sahih Bukhari dan Sahih Muslim (Bab La Adwa Wala Safara Wala Hammah), kemudian menelaah syarah kedua kitab tersebut, yakni Fathul Bari Syarah Sahih Bukhari karya Ibnu Hajar Asqalani dan Al-Minhaj Syarah Sahih Muslim karya Imam Nawawi, maka kita akan menemukan penjelasan hadis yang berkaitan dengan kisah orang Badui yang mengeluh di hadapan Rasulullah, karena unta-unta kepunyaannya (yang tadinya sehat) ketika datang unta berpenyakit kudis, maka unta yang sehat menjadi tertular oleh penyakit tersebut. Kemudian beliau meyakinkan orang Badui tersebut, bahwa penyakit tersebut bukan disebabkan karena datangnya unta yang berkudis, melainkan karena sudah menjadi takdir Allah Swt. 

Demikian keyakinan orang-orang Jahiliah pada waktu itu sudah menafikan takdir-Nya dan meyakini yang datang kemudian itu menjadi penyebabnya seperti tergambar dalam kisah hadis di atas. Contoh lainnya seperti turunnya hujan disebabkan karena ritual-ritual tertentu. Selain itu mereka pula meyakini arwah orang yang sudah meninggal dunia suka penasaran, sehingga beterbangan seperti burung. Keyakinan seperti ini istilah lainnya disebut pula dengan reinkarnasi yang terkait dengan arwah orang yang telah meninggal dunia itu pindah ke dalam tubuh binatang.  

Demikian pula mereka meyakini ketika mereka bepergian di bulan Safar, mereka terkena penyakit kuning sebagaimana telah dikemukakan di atas. Oleh karena itu orang-orang Jahiliah merasa pesimis ketika datangnya bulan Safar tersebut, karena bagi mereka bulan tersebut membawa sial. Keyakinan orang-orang Jahiliah sebagaimana tersebut di atas ketika itu oleh Rasulullah dibantah atau dibatalkannya.

Bagi kaum muslimin semua hari atau bulan adalah baik, mulia, dan netral. Hal ini tergantung dari ikhtiar manusia dan takdir-Nya. Adapun jika terjadi sesuatu seperti penyakit atau musibah lainnya bukan karena hari atau bulannya, melainkan karena kita sendiri tidak berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kesehatan dan lain-lainnya. Tentunya terakhir adalah takdir dari Allah Swt sendiri yang tidak bisa dihindarkan apabila usaha maksimal tersebut sudah dilaksanakan dan ternyata masih tetap sakit atau yang lainnya.  

Selanjutnya Al-Manawi (dalam Faidul Khabir Syarah Jamius Sagir) menjelaskan hadis riwayat Ibnu Abas yang dikutif Imam Al-Suyuti dalam (dalam Jamius Sagir) yang menjelaskan Rabu akhir di setiap bulan adalah hari sial atau naas yang menetap (Akhiru Arbiai fis Syahri Yamu Nahsin Mustamirrin). Begitu pula Al-Manawi mengutif hadis riwayat Abu Said Al-Khudri yang menyatakan hari Sabtu adalah hari tipu daya; hari Ahad adalah hari untuk bertanam dan membangun; hari Senin adalah hari untuk bepergian dan mencari rezeki; hari Selasa adalah hari besi dan bahaya; hari Rabu adalah hari tidak akan mendatangkan apa-apa; hari Kamis adalah hari untuk menutupi kebutuhan dan berkunjung ke raja atau pemerintahan; dan hari Jumat adalah hari untuk khitbah dan nikah.

Menurut Al-Sakhawi--sebagaimana dikutif Al-Manawi--sanad hadis tersebut adalah lemah. Padahal kalau menelaah sejarah menurutnya, disebutkan contohnya hari Rabu adalah hari lahirnya Nabi Yunus yang hidupnya mendapatkan keberkahan. Menurut riwayat lain hari Rabu adalah hari lahirnya Nabi Yusuf. Demikian pula Nabi Yusuf-pun sama halnya dengan Nabi Yunus hidupnya mendapatkan keberkahan. Selain itu hari Rabu juga adalah harinya Rasulullah mendapatkan pertolongan pada waktu perang Ahzab (tahun 5 Hijriah). Oleh karena itu, jika hadis tersebut diterima, maka bertentangan dengan kenyataan sejarah kehidupan para Nabi.

Di antara kita pun ada yang sama hari dilahirkannya dan ada pula yang beda. Ini tentunya semuanya tidak lepas dari takdir-Nya. Kita pun meyakini hari kita dilahirkan semuanya baik dan tergantung kita sendiri dalam memperbaiki hidup. Artinya jika ingin berubah kehidupan kita, maka hal itu tidak terlepas dari kerja keras dan usaha yang maksimal. Terakhir kita bertawakkal kepada-Nya dan meyakini takdir-Nya.

Namun demikian, dianjurkan bagi kita untuk berdoa khususnya di bulan Safar ini dan umumnya di bulan lainnya agar kita semua dihindarkan dari segala penyakit dan musibah lainnya. Namun setiap hari tetap selalu menjaga kesehatan sebagaimana dianjurkan oleh ahli kesehatan dan bekerja keras semaksimal mungkin. Akan tetapi jika masih saja tertimpa penyakit atau musibah lainnya padahal kita sudah berupaya semaksimal mungkin menjaga kesehatan dan bekerja keras, maka di situlah adanya takdir-Nya yang tak bisa dihindarkan, karena sudah ditentukan sejak zaman azali. Semoga kita semua bisa mengisi bulan Safar ini dan umumya bulan lainnya dengan amal saleh. Amin.

Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:

Hidayat, Enang (2017, 21 Oktober). Apa itu Safar ? [Entri blog]. Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2017/10/apa-itu-safar.html

Comments

  1. Nyuhunkeun dalil alqur'an + sunahna nu aya kaitan sreng safar... Hh kanggo materi...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lihat Surah At-Taubat: 36..Kemudian hadisnya tentang tidak ada penyakit (yg menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tdk pula burung hantu, tidak ada sial dalam bulan Safar...(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)..utk lebih jelasnya lihat Kitab Sahih Bukhari (Kitabut Tibb), Sahih Muslim (Kitabus Salam) dalam Bab La Adwa, Wala Thirata, Wala Hammata, Wala Shafara).

      Delete
  2. Lanjutkan untuk bulan selanjutnya. Baru tahu nih riwayat bulan Safar, pernah dulu mendengar bahwa bulan Safar tuh bulan yang tidak baik untuk menikah...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah