Ikatlah Ilmu dengan Tulisan !

Mungkin kita telah mendengar atau membaca hadis Rasulullah yang diriwayatkan Ad-Darimi dari Anas bin Malik yang bunyinya: “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” Menurut sebagian ulama ahli hadis, hadis tersebut berasal dari sahabat Umar bin Khattab. Sebagiannya lagi mengatakan berasal dari Ibnu Abbas. Sebagian lagi mengatakan berasal dari ucapan Anas bin Malik kepada putranya. Sebagian lagi mengatakan berasal dari ucapan Abdullah bin Umar. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Abdil Barr (dalam Jami Bayanil Ilmi wa Fadlihi).  

Terlepas dari siapa hadis tersebut berasal, yang penting hadis tersebut memberikan isyarat kepada kita betapa pentingnya budaya tulis-menulis itu. Hal ini mengingat kegunaannya sangat banyak. Di antaranya agar ilmu tetap lestari, sehingga orang banyak pun dapat menikmatinya. Terlebih lagi agar menjaga diri dari sifat lupa di kemudian hari. Kita masih ingat tentang kisah ada seorang laki-laki yang mengadu kepada Rasulullah karena ia lupa terhadap ilmu yang telah dipelajarinya. Beliau menjawab: “Tulislah ilmu, sehingga apabila di kemudian hari engkau lupa, maka engkau bisa melihat tulisanmu.” Bahkan jika kita memerhatikan ucapan Muawiah bin Qurah lebih tegas lagi beliau mengatakan: “Barang siapa yang tidak menuliskan ilmunya, maka janganlah ia disebut orang alim.”

Selanjutnya jika kita melihat sejarah kegiatan tulis-menulis pun pada masa Rasulullah sudah pernah terjadi. Meskipun pada masa itu belum secara resmi, karena masih terkonsentrasi pada penulisan Alquran. Makanya beliau mengingatkan para sahabat agar tidak menulis sesuatu selain menulis Alquran. Pada masa itu juga terdapat sahabat yang rajin tulis-menulis seperti Abdullah bin Amr bin As. Kemudian barulah kegiatan tulis-menulis secara gencar setelah Alquran dibukukan. Bahkan tidak hanya Abdullah bin Amr  bin As yang pada waktu itu terkenal rajin tulis-menulis, sahabat lain pun banyak bermunculan melakukan tulis-menulis. Makanya wajar pada masa ini dikenal dengan gencarnya penulisan hadis. Begitu pun kegiatan tulis-menulis pun terkenal dilakukan oleh para ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Tak ketinggalan pula para ulama hadis seperti Bukhari, Muslim, dan yang lainnya. Sehingga kita pun pada masa sekarang bisa menikmati jasa mereka semua. Sungguh budaya tulis-menulis ketika itu sungguh mengalami kemajuan yang luar biasa. Makanya wajar sekali pada masa itu pula dikenal dengan masa keemasan.

Bisa dibayangkan pada waktu itu belum ada alat tulis-menulis seperti Laptop atau Notebook sebagaimana zaman kita sekarang. Namun, semangat para ulama begitu tingginya. Bahkan bisa menghasilkan berjilid-jilid kitab hingga akhirnya kitu pun bisa membacanya hari ini. Sebut saja misalnya kitab Badais Sanai karya Al-Kasani (ulama Hanafiah) jumlahnya 10 jilid; Ad-Dakhirah karya Al-Qurafi (ulama Malikiah) jumlahnya 14 jilid; Al-Umm karya Imam Syafii jumlahnya 11 jilid dan Al-Majmu Syarh Al-Muhazzab karya Imam Nawawi (ulama Syafiiah) jumlahnya 23 jilid; Al-Mugni karya Ibnu Qudamah (ulama Hanabilah) jumlahnya 15 jilid. Masih banyak karya-karya ulama lainnya, baik dalam bidang fikih, hadis, dan ilmu lainnya yang jumlahnya jilidnya tidak sedikit. Masa kita yang hidup di zaman sekarang serba canggih dengan ditandai oleh sarana tulis-menulis semakin canggih pula bisa kalah oleh kebiasaan mereka pada zaman dahulu yang keadaannya seperti telah disebutkan tadi?

Kegiatan tulis-menulis pun tidak akan bisa terlaksana seandainya tanpa diringi dengan kegiatan membaca. Dengan kata lain mau menulis apa kalau tidak ada hasil bacaan. Makanya wajar sekali kenapa Allah menjelaskan dalam firman-Nya sebagaimana tercantum dalam Surah Alalaq, kata-kata iqra kemudian diringi dengan kata-kata al-qalam dalam firman-Nya allazi allam bil qalam yang mengandung maksud Allah mengajari manusia tulis-menulis dengan perantara kalam. Ini artinya dua hal tersebut (membaca dan menulis) termasuk ke dalam alat untuk memperoleh ilmu.

Menurut penjelasan Kazmi sebagaimana dikutif Sofie Dewayani dan Pratiwi Retnaningdyah (dalam Suara dari Marjin: Literasi sebagai Praktik Sosial) adanya perintah iqra dalam surat tersebut mengindikasikan pentingnya ilmu pengetahuan yang identik dengan tumbuhnya peradaban Islam. Tepatnya pada abad pertengahan, yakni abad ke-7 hingga 13, pada masa ini Bagdad dan Spanyol menjadi pusat ilmu pengetahuan dengan adanya Baitul Hikmah yang berfungsi sebagai perpustakaan. Cordova dikenal sebagai kota metropolitan, karena memiliki koleksi lebih dari 440.000 buku.

Bahkan kegiatan tulis-menulis pun menurut penjelasan Al-Mawardi (dalam Adabud Dunya wad Din) sudah ada sejak zaman Nabi Adam. Kaab mengatakan orang yang pertama kali menulis adalah Nabi Adam. Menurut riwayat, pada masa hidupnya beliau pernah melakukan kegiatan tulis-menulis di tanah selama tiga ratus tahun. Tulisan Nabi Adam tersebut masih ada tatkala ditenggelamkannya bumi pada masa Nabi Nuh. Hingga pada masa Nabi Idris pun tulisannya masih ada.

Jika kita membaca riset“World’s Most Literate Nations Ranked” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada bulan Maret 2016, sungguh memprihatinkan kondisi minat baca bangsa Indonesia menempati ranking ke-60 dari 61 negara yang disurvey. Indonesia berada di bawah negara Thailand (59) dan berada di atas negara Boswana (61). Selanjutnya berdasarkan data dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) dijelaskan pula minat baca anak Indonesia hanya 0,001 persen. Ini artinya, dari 1000 anak bangsa, hanya satu orang yang senang membaca.

Kita menyadari adanya teknologi seperti internet di satu sisi kita juga diuntungkan, karena dapat info terkait dengan ilmu atau yang lainnya. Namun sungguh sangat disayangkan jika budaya baca dan tulis-menulis semakin melemah karenanya. Misalnya jika lebih senang copy paste (copas) dari internet tanpa berusaha menggali dan membaca langsung sumber aslinya atau tanpa membeli buku atau tanpa berkunjung ke perpustakaan. Dengan kata lain tidak ingin mencari bahan yang masih mentah, melainkan yang sudah matang saja. Alias lebih senang yang instan saja. Sungguh sangat disayangkan pula jika masyarakat kita malas membeli buku, lebih senang banyak jajan dan hidup bergaya, seperti banyak beli pakaian, perabotan rumah tangga, dan lainnya. Apakah pernah kita membawa putra-putri kita berkunjung suatu waktu ke perpustakaan? Atau justeru yang sering kita kunjungi adalah pusat perbelanjaan untuk membeli banyak pakaian dan lain sebagainya? Mari kita renungi dan introspeksi diri demi kemajuan kita dan generasi penerus kita pada masa yang akan datang agar menjadi manusia yang tidak ketinggalan oleh peradaban. Mari kita hidupkan rumah kita dengan budaya baca dan tulis-menulis. Semoga hal ini bisa kita laksanakan. Amin.


Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:

Hidayat, Enang (2017, 06 Oktober). Ikatlah Ilmu dengan Tulisan !  [Entri blog]. Diambil dari


Comments

  1. Asa kasindiran.... Menulis memang kegiatan yang paling menantang....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Punten ah ieu mah saling emutan. Betul sekali. Menulis juga termasuk seni melatih rasa, rasio, dan kesabaran.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah