Ujian Muamalah Adabiah

Tulisan ini merupakan renungan penulis yang sekarang sedang menjadi pembimbing mahasiswa dalam Praktek Pengenalan Lapangan (PPL) di lembaga keuangan syariah. Suatu hari penulis memantau kegiatan para mahasiswa, kemudian diskusi dengan pengurus lembaga dan para mahasiswa di tempat PPL. Dengan adanya diskusi tersebut, penulis dan para mahasiswa memperoleh banyak pengetahuan dari pengurus. Selanjutnya penulis menyimpulkan betapa muamalah adabiah (muamalah yang terkait di dalamnya dengan adab atau etika pelakunya) mendapatkan ujian ketika kita mempraktikkan sebuah akad. Sebagai contoh untuk menerapkan sistem mudarabah di lembaga keuangan syariah ternyata praktiknya mendapatkan ujian. Artinya tidak semudah ketika memahami teorinya.

Mengapa demikian? Dalam sistem mudarabah, pihak yang punya modal (sahibul mal) dalam hal ini pihak lembaga keuangan-memberikan modal kepada mudarib (pengelola modal) terkait dengan usaha tertentu. Jika tidak ada sinergi kedua belah pihak untuk mewujudkan praktik syariah tersebut, maka tidak akan terwujud. Misalnya menurut ketentuan sesuai dengan perjanjian di awal akad apabila usaha tersebut mendapat keuntungan, maka hasilnya dapat dibagi berdasarkan kesepakatan bersama di awal. Sedangkan apabila rugi, maka pihak sahibul mal-lah yang menanggungnya. Kendatipun demikian sebenarnya pihak mudarib pun sama-sama rugi pula, karena kerja-kerasnya selama ini tidak menghasilkan apa-apa. Dalam hal demikian, seandainya pihak mudarib tidak jujur, maka ia tidak transfaran terkait dengan keuntungan yang diperolehnya. Sebaliknya apabila mengalami kerugian, ia transfaran. Inilah yang dimaksud ujian tersebut.

Di satu sisi keutamaan mudarabah ini tercapainya keberkahan sebagaimana dipahami dari hadis Rasulullah riwayat Suhaib yang menjelaskan salah satu keberkahan adalah memberi modal kepada orang lain (dengan sistem mudarabah) (HR. Baihaki dan Daruqutni). Namun di sisi lain, kejujuran yang termasuk ke dalam muamalah adabiah diuji keberadaannya sebagaimana telah disebutkan tadi. Inilah keunggulan sistem muamalah Islam yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Tentunya muamalah Islam tidak hanya memerhatikan masalah kejujuran saja, melainkan memerhatikan masalah lainnya, seperti larangan penimbunan (ihtikar), riba, penipuan (garar), dan kezaliman.

Muamalah Islam juga sebagaimana dikemukakan Muhamad Bahi (dalam Al-Islam wa al-Iqtisad) melarang tindakan yang berpotensi mengantarkan manusia pada kesewenang-wenangan dalam bertransaksi, seperti perampasan harta orang lain (gasab), pencurian (sirqah), dan suap-menyuap (risywah) hakim guna memperoleh harta yang bukan haknya. Inilah pentingnya bagi kita tidak hanya pandai memahami muamalah madiah yang objeknya terkait harta benda, seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai, dan akad lainnya, Namun yang tak kalah pentingnya memahami dan mengamalkan pula muamalah adabiah dalam mempraktikkan semua itu.

Pantas saja Ali Fikri menulis sebuah kitab berjudul Al-Muamalah al-Madiah wa al-Adabiah yang terdiri dari tiga juz. Juz pertama dan kedua membahas muamalah madiah, sedangkan juz ketiga khusus membahas muamalah adabiah, seperti jujur dalam perkataan dan perbuatan, berpegang teguh pada kebenaran dan keadilan, menepati janji, menghindari saksi dan sumpah palsu, melaksanakan amanat, menghindari penipuan, khianat, bohong, berbuat zalim, dan memakan harta dengan jalan batil.

Tentunya pentingnya memahami dan mengamalkan bentuk muamalah tersebut melibatkan kedua belah pihak  dalam melakukan akad, seperti penjual dan pembeli dalam akad bai; pihak yang menyewakan dan penyewa dalam akad ijarah; pegadai dan penerima gadai dalam akad rahn; pemilik modal dan pengelola dalam akad mudarabah; dan akad-akad lainnya yang terkait dengan bentuk kerjasama, baik dalam bidang pertanian, seperti muzaraah/mukhabarah atau musakah, maupun bidang perdagangan, seperti mudarabah, dan syirkah Dalam mempraktikkan semua akad tersebut kepercayaan dan kejujuran diuji.   

Dalam berbagai riwayat yang mengindikasikan kejujuran disandarkan kepada para pedagang sebagaimana contohnya yang dipahami dalam hadis riwayat Abdullah bin Umar dan Abu Said al-Khudri yang menjelaskan pedagang yang jujur dan dapat terpercaya nanti pada hari kiamat akan berkumpul bersama-sama orang-orang yang jujur lagi, bersama para Nabi, dan para syuhada (HR. Tirmizi dan Baihaki).  Dalam riwayat Anas bin Malik disebutkan pedagang yang jujur berada di bawah bayang-bayang Arasy pada hari kiamat nanti. Ada lagi riwayat Ibnu Abas disebutkan pedagang yang jujur tidak terhalang dari pintu surga. Ada lagi riwayat Ubaidah bin Rifaah yang menyebutkan sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai orang yang suka berdusta, kecuali mereka bertakwa kepada Allah, suka berbuat baik, dan jujur (HR. Tirmizi).

Kendatipun hadis-hadis tersebut secara eksplisit ditujukan hanya kepada pedagang saja, namun sebenarnya pembeli pun hal yang sama. Bahkan berlaku bukan hanya untuk akad jual beli saja, melainkan untuk akad-akad muamalah lainnya. Misalnya (dalam akad jual beli) untuk konteks zaman sekarang pembeli dilarang menggunakan uang palsu yang menyebabkan kerugian pedagang atau pembeli mengumbar janji dan bersumpah akan membayar utang jika jual beli dilakukan tidak secara tunai. 

Adanya penyandaran kepada pedagang dimungkinkan karena banyaknya pedagang pada masa Nabi yang hanya mengutamakan keuntungan materi saja, sehingga mengabaikan keberkahan. Namun, tidak menutup kemungkinana pada masa sekarang pun tidak jauh berbeda. Contoh lainnya dalam pelaksanaan akad mudarabah sebagaimana telah disinggung di atas, mungkin saja pihak mudarib tidak jujur terhadap keuntungan yang diraih dari usahanya. Dengan demikian pentingnya penanaman nilai-nilai muamalah adabiah menjadi hal yang mendesak untuk disosialisasikan kepada masyarakat guna meraih keberkahan dalam bermuamalah.

Menjamurnya lembaga-lembaga keuangan untuk menerapkan sistem syariah secara semaksimal sepenuhnya tidak akan terlaksana jika dalam praktiknya tidak ada sinergi antara pihak lembaga dan nasabah serta masyarakat umumnya untuk mewujudkannya. Tidak cukup pelayanan prima dan mudah, tapi yang tak kalah pentingnya adalah adanya kemauan dari kedua belah pihak menerapkan sistem ekonomi yang berbasis syariah.

Syukur alhamdulillah pemerintah telah memerhatikan pentingnya ekonomi berbasis syariah dengan berupaya menerbitkan undang-undang yang terkait dengannya. Misalnya UU. RI. No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf; UU. RI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; UU. RI. No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara; UU. RI. No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang tersebut merupakan upaya pemerintah dalam rangka mentransformasikan hukum ekonomi syariah ke dalam hukum nasional. Namun sekali lagi, tanpa adanya sinergi dari berbagai pihak untuk membumikan ekonomi syariah melalui undang-undang tersebut tidak akan terlaksana dengan baik.

Agama tidak hanya mengajarkan urusan ibadah saja, melainkan agama juga mengajarkan bagaimana bermumalah dengan baik. Bahkan jika dibandingkan dengan urusan ibadah, persoalan muamalah forsinya lebih banyak. Contohnya mari kita renungkan, dalam kehidupan sehari-hari kita melakukan salat berapa waktu yang dibutuhkan untuk melakukannya. Selebihnya kita banyak menghabiskan waktu untuk beraktivitas dan berinteraksi dengan sesama kita dengan beragam profesi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun jika profesi tersebut tanpa diiringi penanaman nilai-nilai dan pengamalan muamalah yang berbasis syariah, semua itu sia-sia. Oleh karena itu dapat dikatakan agama adalah muamalah. Muamalah di sini maksudnya setiap aktivitas manusia di muka bumi yang terikat dengan aturan-aturan dalam mempraktikkannya, khususnya muamalah maliah. Tujuannya tiada lain guna memperoleh keberhasilan dunia yang menjadi sebab diraihnya keberhasilan akhirat (tahsiluddunyawi liyakuna sababan lil akhir).

Kendatipun sistem ekonomi berbasis syariah pada praktiknya belum sepenuhnya terlaksana dengan sempurna di masyarakat kita, khususnya di lembaga keuangan syariah, namun apa saja yang sudah tercapai selama ini semakin terus ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan kaidah fikih yang dikemukakan para ulama: “Apa saja yang sepenuhnya belum tercapai dengan baik, bukan berarti meninggalkan sebagiannya yang sudah tercapai”(Mala Yudraku Kulluhu La Yutraku Ba’duhu). Kaidah ini secara implisit memberikan semangat kepada kita agar tidak mudah menyerah dengan kondisi yang ada dan sambil terus-menerus memperbaiki agar impian sistem ekonomi berbasis syariah berhasil membumi di negara tercinta kita ini dengan baik. Amin.

Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:

Hidayat, Enang (2017, 01 Nopember). Ujian Muamalah Adabiah [Entri blog]. Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2017/11/ujian-muamalah-adabiah.html

Comments

  1. Betul sulit, untuk menerapkan teori pada praktek...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lebih sulit lagi jika tidak ada kemauan,keberanian,dan kesabaran.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah