What Do You Want To Be?
Tulisan ini terinspirasi dalam rangka memperingati ulang tahun anakku tersayang
yang kemarin (10 Januari 2018) genap berusia 4 tahun. Semoga kelak menjadi anak yang sehat, berguna
bagi agama, nusa dan bangsa. Tak ketinggalan juga bisa berbakti kepada kedua orang tuanya,
gurunya, menghormati orang yang usianya berada
di atasnya serta menyayangi orang yang usianya berada di bawahnya. Amin. Happy
birth day my son! What do you want to be my son?
Setiap masing-masing individu mempunyai cita-cita atau impian. Tak terkecuali
buah hati atau generasi penerus kita pada masa yang akan datang. Setiap orang
tua tentunya mengharapkan nasib anaknya lebih baik dari orang tuanya, baik
pendidikannya, akhlaknya maupun yang lainnya. Sejahat-jahatnya orang tua, tetapi tentunya menginginkan anaknya jadi orang saleh.
Barangkali setiap orang tuanya pernah bertanya kepada
anaknya: “Ingin jadi apakah kamu nanti” (What Do You Want To Be?). Apakah
pertanyaan tersebut baik untuk dikemukakan kepadanya? Tentunya baik, karena
dengan pertanyaan tersebut, orang tuanya berarti memerhatikan perkembangan bakat dan
kemampuannya. Karenanya orang tua akan memantau kegiatan belajarnya, pergaulannya,
dan lain sebagainya.
Namun untuk mewujudkan impian tersebut jangan lupa memerhatikan lingkungan
dan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kepribadian si anak. Memang benar
kondisi alam, lingkungan, iklim, dan letak geografis berpengaruh juga terhadap
kepribadian si anak. Bukankah faktor hereditas juga berpengaruh? Benar hal
demikian.
Menurut penelitian dalam Journal Akademic Behaviour Science
tahun 1982, ditemukan adanya korelasi antara orang tua dan anak. Namun terkait dengan IQ,
kecerdasan ibu dan anak lebih tinggi (0,464) dibandingkan dengan seorang ayah
dan anak (0,423). Penelitian berikutnya dilakukan oleh para peneliti dari University
of Queensland terkait dengan hasil tes DNA dan tes IQ yang dilakukan
terhadap lebih dari 18.000 anak dari Australia, Belanda, Inggris, dan Amerika. Bagaimana
hasilnya? Mereka menemukan faktor keturunan hanya menyumbang 20-40 persen dari
beragam IQ anak-anak. Dengan demikian hasilnya lebih rendah dari penelitian
sebelumnya.
Jika hasil temuan di atas kita terima, bagaimana posisi seorang
ayah? Kendatipun sebagaimana disebutkan di atas terkait kondisinya, namun sebenarnya ayah juga berperan sekali dalam membentuk mental
dan kepribadian anak untuk menggapai impiannya. Bukankah ketika seorang ayah mengajak anaknya bermain sepeda, bola, jalan-jalan, mengajak
salat berjamaah ke mesjid, mengaji dapat memengaruhi kedekatan anak dengan
ayahnya, sehingga tatkala ia dewasa menjadi sebuah kenangan atau memori yang sulit
untuk dilupakan. Kalau kedekatannya dengan ibu sudah jelas, karena ia yang
melahirkan dan menyusuinya. Namun dalam masalah pendidikan, keduanya mempunyai
tanggung jawab. Termasuk dalam hal menggapai impiannya.
Seberapa jauh faktor hereditas itu berpengaruh terhadap perkembangan
anak atau generasi penerus kita? Mari kita perhatikan riwayat Abu Hurairah yang
mengisahkan suatu waktu ada seorang laki-laki dari Bani Fazzarah datang
menghadap Rasulullah dan menceritakan bahwa isterinya melahirkan anak berkulit
hitam. Mendengar cerita demikian, lalu Rasulullah berkata kepadanya: “Apakah
kamu memiliki unta”? Ia menjawab: “Ya”. Rasulullah bertanya lagi: “Warnanya
apa?” Ia menjawab: “Merah.” Rasulullah bertanya lagi: “Apakah warna kulit
anakmu itu terdapat warna keabu-abuan?” Ia menjawab: “Ya.” Rasulullah berkata:
“Dari mana asal usul warna itu”? Ia menjawab: “Barangkali berasal dari
keturunan nenek moyangnya.” Rasulullah berkata lagi: “Begitulah anakmu mengapa
warna kulitnya demikian.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kalau faktor keluarga jelas sekali. Dalam hal ini Rasulullah pernah
bersabda yang intinya menerangkan setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. Ahmad dari Abu
Hurairah).
Faktor sosial pun demikian. Terdapat juga kisah yang menceritakan
ada seorang laki-laki yang telah membunuh seratus jiwa, kemudian ia ingin
bertaubat, dan ketika itu bertanya kepada seorang alim, apakah taubatnya akan
diterima? Orang alim menjawab: “Ya.” Namun
ketika itu pula orang alim menyarankan agar ia berangkat ke suatu
daerah yang di dalamnya terdapat banyak orang yang beribadah kepada Allah. Dan
disarankan pula agar ia mengikuti seperti yang mereka lakukan. Begitu pun disarankan agar jangan pulang, karena kampung halamannya tersebut tidak baik
untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Said Al-Khudri).
Kisah-kisah di atas secara implisit memberikan pemahaman betapa
faktor hereditas, keluarga, dan lingkungan sosial berpengaruh terhadap kepribadian
seseorang tak terkecuali generasi penerus kita. Abdul Karim Akyawi (dalam Al-Tarbiyah
wa al-Ta’lim fi Madrasatil Muhammadiyah) mengutarakan hasi riset ditemukan
99% terkait dengan perbuatan manusia berasal dari kebiasaan yang sering terjadi. Kebiasaan tersebut berpotensi membentuk watak. Banyak pelajaran yang
sebenarnya tidak didapatkan dari keluarga dan bangku sekolah, melainkan didapatkan dari lingkungan sosial. Semoga kita semua mempunyai keturunan saleh
individunya, juga saleh sosialnya. Selain itu ia tidak hanya cerdas
intelektualnya, tapi cerdas juga spiritual dan emosionalnya. Amin.
Comments
Post a Comment