Zuhud di Zaman Now
Tanggal 13 Jumadil Awal 1439 H ini mari kita bahas zuhud. Namun, sebelum ke sana, mari kita bahas terlebih dahulu apa itu Jamadil Awal. Kata-kata Jumadil Awal dalam penjelasan Ibnu Manzur dan
Al-Zubaidi (Lisanul Arab dan
Tajul Arus) mengandung makna waktu itu di daerah jazirah Arab air
tidak mengalir alias membeku. Ada dua nama Jumadil dalam setahun ini, yakni
Jumadil Awal dan Jumadil Akhir. Namun dalam kitab fadilah amal,
belum penulis temukan para ulama apakah membahas atau tidaknya terkait keutamaan
(fadilah) Jumadil Awal. Kendatipun demikian, jika kita menelaah sejarah
Rasulullah atau perjalanan hidupnya (sirah Rasul) sebagaimana dijelaskan
At-Tabari dalam (Tarikh at-Tabari) ada suatu peristiwa dalam
sepanjang hayatnya, beliau pernah mengalami dua perang pada bulan Jumadil
Awal ini, yakni Perang Bani Lihyan dan perang Ziqarad.
Keduanya terjadi pada tahun 6 Hijriah.
Terlepas dari pembahasan tersebut, di sini akan dibahas tentang zuhud.
Pembahasan ini sebenarnya kajian penulis di majelis taklim dan telah
disampaikan kepada jamaah bagaimana sebenarnya pemahaman zuhud dalam
konteks kekinian. Jika Hamka menulis buku berjudul “Tasawuf Modern” yang
intinya membahas bagaimana konteks tasawuf zaman modern, maka sebenarnya zuhud
juga merupakan bagian dari ajaran tasawuf tersebut.
Apa itu zuhud ? Secara bahasa berarti mencegah (al-man’u).
Zuhud berarti meninggalkan apa-apa yang tidak dibutuhkan manusia di dunia, meskipun termasuk perkara halal. Dan mencukupkan diri dengan perkara yang
ada. Selanjutnya Ibnu Manzur berpendapat makna asal zuhud adalah
kebalikan dari kecintaan dan semangat terhadap urusan dunia (ar-ragbah wal hirs
ilad-dunya).
Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana dikutif Al-Afani (dalam Salahul
Umat fi Uluwwil Himmah) membagi zuhud menjadi tiga bagian. Pertama,
meninggalkan sesuatu yang haram. Inilah yang disebut zuhud-nya orang awam. Kedua,
meninggalkan sikap berlebihan dari sesuatu yang halal. Inilah yang disebut
dengan zuhud khawas, seperti zuhud-nya para ulama. Ketiga,
meninggalkan sesuatu yang dapat melupakan Allah. Inilah yang disebut dengan zuhud
orang-orang yang telah mencapai tingkat makrifat (arifin), seperti zuhud-nya
para Nabi. Jika kita semua termasuk orang awam, maka apakah sudah zuhud sebagaimana
disebutkan di atas?
Apa zuhud itu diidentikkan dengan meninggalkan keduniaan? Jika
melirik pada sejarah kehidupan para Nabi, seperti Nabi Sulaiman dan Nabi Daud,
mereka termasuk orang yang paling zuhud ketika itu. Akan tetapi keduanya
mempunyai harta, kerajaan, dan perempuan. Begitu pun Nabi Muhammad Saw termasuk
orang yang paling zuhud. Akan tetapi beliau pun memiliki isteri, bahkan
hingga sembilan. Tak ketinggalan pula para sahabat seperti Ali bin Abi Talib,
Abdur Rahman bin Auf, Zubair, dan Usman bin Affan, mereka juga termasuk
orang-orang yang zuhud. Mereka pun mempunyai banyak harta. Demikian pula
Hasan bin Ali (cucu Rasulullah) termasuk orang zuhud. Beliau mempunyai
harta dan menyukai perempuan serta menikahinya. Abdullah bin Mubarak, Lais bin
Saad (termasuk tabiin) hal yang sama termasuk orang-orang zuhud. Mereka
pun sama termasuk orang-orang yang banyak harta.
Jika kita menelaah kehidupan Rasulullah, para sahabat serta tabiin
di atas jelaslah mereka semua zuhud. Namun mereka juga bukan berarti
meninggalkan harta, kerajaan dan perempuan, melainkan maksudnya mereka tidak
berlebihan dan tidak menjadikan semua itu lupa kepada Allah. Atau tidak rakus
sehingga menghalalkan segala macam cara. Dengan demikian sementara akhir-akhir
ini kita dengar di layar televisi adanya sekelompok orang yang menyukai sesama
jenis kelamin sudah menyalahi kodrat kemanusiaan. Karena para Nabi, sahabat
serta tabiin, mereka termasuk orang zuhud pun menyukai beda lawan jenis.
Mengenai keutamaan zuhud ini, terdapat sebuah kisah yang
menyebutkan suatu ketika seorang laki-laki mendatangi Rasulullah dan memohon agar
beliau menunjukkan suatu amal yang apabila dilakukannya akan dicintai Allah dan
manusia. Ketika itu Rasululah menjawabnya: “Zuhudlah engkau di dunia, maka
Allah akan menyukaimu. Dan zuhudlah engkau juga di hadapan manusia, maka mereka
pun akan menyukaimu.” (HR. Ibnu Majah dari Sahl al-Saidi). Dengan demikian orang zuhud tidak hanya
menjalin hubungan baik dengan Allah, tapi dengan sesama manusia pun sama.
Perkembangan zaman seperti yang terjadi sekarang atau dikenal
dengan era milenium dengan ditandai teknologi yang semakin canggih tidak
menghalangi orang untuk zuhud. Orang zuhud tetap semangat dalam
mengejar impiannya di dunia. Namun ia juga tak ketinggalan semangat
memerhatikan urusan akhirat. Orang zuhud tidak tergantung sekali kepada
makhluk, tapi tergantung kepada Allah. Orang zuhud tidak hanya mengandalkan
ikhtiar, tapi ia juga menyertainya dengan berdoa dan bertawakal kepada-Nya. Orang zuhud
tidak hanya mengandalkan logikanya, tapi memercayai juga kekuasaan-Nya. Dengan
demikian orang zuhud termasuk orang hebat dan bijaksana dalam menyikapi
kehidupan. Mudah-mudahan kita semua termasuk orang zuhud sesuai
kapasitasnya. Amin.
Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:
Hidayat, Enang (2018, 30 Januari). Zuhud di Zaman Now [Entri blog]. Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2018/01/zuhud-di-zaman-now.html
Comments
Post a Comment