Mahasiswa dan Masyarakat

Pada tanggal 12 Februari 2018 penulis mengantarkan para mahasiswa ke lokasi KKN  di Desa Cidadap-Campaka Cianjur. Tujuan dari KKN tersebut sebagai bentuk pengamalan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pengabdian. Pengabdian kepada masyarakat sebuah keniscayaan bagi siapapun, tak terkecuali mahasiswa. Mengapa dikatakan demikian? Apabila ingin ilmunya lebih bermanfaat salah satunya bisa mentransferkan ilmunya kepada yang membutuhkannya di masyarakat. Artinya ilmu yang selama ini diperoleh dari bangku perkuliahan dipraktikkan dan diamalkan di masyarakat.

Istilah “mahasiswa” sudah populer diartikan dengan seseorang yang belajar di suatu perguruan tinggi. Istilah demikian lebih tinggi levelnya dari “pelajar” atau “siswa” yang dikenal dengan seseorang yang duduk di bangku sekolah dasar dan menengah.  Atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan “anak sekolahan.” Keberadaan mahasiswa jelas ditunggu oleh  keluarga, masyarakat, dan calon mertua (khusus yang sudah punya calon).

Selanjutnya apa itu masyarakat? Masyarakat didefinisikan Koentjaraningrat (dalam Pengantar Ilmu Antropologi) sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat-istiadat yang bersifat kontinyu, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Dalam bahasa Inggeris disebut dengan society yang berasal dari bahasa Latin, socius, yang berarti “kawan.” Istilah masyarakat juga berasal dari bahasa Arab, syaraka yang berarti ikut serta atau berpartisifasi.

Arti masyarakat di atas secara implisit menjelaskan kapasitas manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan sesamanya dalam jangka waktu yang kontinyu. Sehingga akan saling membantu dalam rangka memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Itulah masyarakat sebagai objek mahasiswa mentranferkan ilmunya, baik ketika KKN, maupun sesudah jadi sarjana kelak sesuai kompetensinya masing-masing. Namun terdapat perbedaan ketika jadi mahasiswa KKN dan nanti sesudah jadi sarjana. Kedudukan mahasiswa ketika di lokasi KKN bukan menjadi pimpinan atau tokoh masyarakat, melainkan untuk membantu pimpinan atau tokoh yang ada di lokasi tersebut. Sekaligus menimba ilmu dari mereka, karena sudah berpengalaman. Apabila belum ada program di lokasi tersebut, maka di sanalah mahasiswa mewariskan program tersebut untuk kepentingan masyarakat dan manfaatnya dapat dirasakan oleh mereka, sehingga akan dikenang oleh masyarakat apabila KKN sudah beres. Sedangkan apabila program yang direncanakan oleh mahasiswa kebetulan sudah ada di masyarakat, maka mahasiswa hanya membantu dan memberi semangat kepada masyarakat agar terus dilanjutkan. Selain itu waktunya pun terbatas sekitar satu bulan.

Hal berbeda ketika statusya naik menjadi sarjana dan sudah mukim di kampungnya masing-masing. Dalam keadaan demikian, ia dituntut lebih dibanding ketika menjadi mahasiswa KKN. Ia sudah bersosialisasi dengan masyarakat dalam waktu yang tidak terbatas hingga meninggal dunia. Bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi tokoh atau pemimpin di masyarakat. Mengamalkan serta mengajak kepada masyarakat perihal keilmuan yang selama ini telah diperolehnya ketika jadi mahasiswa.  

Tentunya tantangannya pun lebih berat ketika sudah menjadi sarjana. Mengapa demikian? Selain berhadapan dengan heterogennya karakter, budaya dan adat-istiadat yang ada di masyarakat, juga perihal keilmuannya. Masyarakat penuh kepercayaan kepada seorang sarjana bahwa ia mampu untuk mengamalkan ilmunya yang dibutuhkan sesuai dengan bidangnya. Apalagi sarjana lulusan ilmu keagamaaan tidak hanya disoroti ilmunya saja, melainkan akhlaknya juga. Maka, kekurangannya pun tentang ilmu semakin terasa ketika sudah mukim. Namun semua itu akan mendorong untuk lebih semangat belajar lagi, baik dengan membaca buku atau bertanya lagi kepada ahlinya. Sudah siapkah para mahasiswa menghadapi semua itu?

Ucapan dan perbuatannya akan menjadi sorotan masyarakat. Menjadi tuntunan bagi masyarakat. Makanya ketika mengajak kepada masyarakat untuk melakukan sesuatu, semestinya ia sendiri terlebih dahulu telah mengamalkannya. Inilah yang disebut dengan integritas. Artinya ia sendiri telah menunjukkan potensinya kemudian mengamalkan keilmuannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya jika keilmuannya di bidang agama, maka ia punya potensi mengajarkan ilmu keagamaan. 

Dengan demikian moment KKN ini merupakan pengalaman yang berharga dan tidak boleh disia-siakan sebagai bekal nanti setelah jadi sarjana dan terjun ke kampungnya masing-masing. Kendati pun demikian mungkin saja ada di antara para mahasiwa yang sudah aktif bersosialisasi dengan masyarakat. Bahkan sudah bisa mengamalkan ilmunya. Semoga sukses para mahasiswa dalam melaksanakan program KKN ini dan mendapatkan ilmu serta pengalaman sebagai bekal nanti ketika terjun ke kampungnya masing-masing setelah jadi sarjana. Amin.


Comments

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah