Mungkinkah Berkah Ilmu Masih Ada?
Ketika tahun 1991 penulis mondok di Pesantren di daerah Garut terdapat
suatu pengalaman yang sampai sekarang tidak pernah terlupakan, bahkan hingga
kapan pun. Tiap beres mengaji di masjid, para santri tidak berani keluar sebelum kyai masuk dulu ke rumahnya. Begitu pun ketika kyai berada di luar,
para santri tidak berani keluar, bahkan bersembunyi. Bukan karena takut,
melainkan karena malu. Demikian pula ketika para santri duduk di rumah kyai mau minta izin pulang ke rumah, duduknya pun sambil tertunduk. Masih ingat sampai
sekarang ucapan kyai: “Mudah-mudahan selamat di jalannya dan sampaikan salam
buat orang tuamu.”
Sungguh benar-benar adab atau tatakrama dipelihara, karena percaya berkah
itu akan selalu ada dari ilmu yang telah disampaikan kyai kepada para
santrinya. Mungkin pengalaman seperti ini bukan hanya yang dialami oleh penulis
saja. Mungkin dialami juga oleh sahabat-sahabat yang budiman. Bahkan para orang
tua kita dulu pun hal yang sama ketika mereka mondok mengalaminya. Bagaimana
dengan kondisi sekarang? Apakah hal seperti itu masih ada? Jika masih ada,
syukur alhamdulillah.
Akhir-akhir ini kita dibuat prihatin sebagaimana kita saksikan di
televisi dan media sosial perihal adanya seorang murid yang sampai berani
memukul gurunya hingga menyebabkan meninggal dunia gara-gara diperingatkan agar
memerhatikan ketika menyampaikan pelajaran di kelas. Bahkan hal tersebut sampai
membuat sedih Bapak Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla--sebagaimana diberitakan metrotvnews.com
(07 Februari 2018)—sehingga menurutnya pemerintah berencana akan mengangkat
puluhan ribu guru honorer menjadi PNS. Salah satu alasannya selain banyaknya
jumlah guru PNS yang pensiun, juga minimnya penghasilan guru honorer yang menyebabkan rendah wibawanya di mata siswa sehingga berani melawan.
Namun sebenarnya menurut penulis persoalannya bukan hanya itu saja,
melainkan perlunya penanaman yang lebih intensif terkait pendidikan akhlak bagi generasi penerus kita di keluarga masing-masing. Karenanya ada menariknya
jika kita membaca buku “Pendidikan Agama dalam Keluarga” karya Ahmad
Tafsir, yang diterbitkan oleh PT. Remaja Rosdakarya Bandung 2017. Dalam pengantarnya, beliau menyoroti seharusnya
fokus pendidikan nasional kita adalah pembinaan akhlak. Menurutnya selama ini
telah terjadi kekeliruan setelah disahkannya UU. RI. No. 2 Tahun 89 dan UU. RI.
No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menegaskan fokus pendidikan nasional
kita adalah penguasan sains dan teknologi, ditambah dengan keterampilan.
Mengapa harus demikian? Hancurnya seseorang, keluarga, Parpol, Ormas, dan
negara, semuanya karena akhlak. Susah untuk mencari hancurnya sebuah negara
karena masyarakatnya tidak menguasai sains dan teknologi. Karenanya agar
Indonesia bangkit, memperbaiki sistem pendidikan nasional yakni dengan cara mengubah
fokusnya, yaitu pembinaan akhlak menurut agama masing-masing menjadi sebuah
keniscayaan. Pendidikan akhlak itu tidak cukup di sekolah yang dibebankan
kepada para guru, melainkan rumah tangga yang merupakan tanggung jawab para
orang tua. Demikian dikatakan Ahmad Tafsir.
Selanjutnya jika kita perhatikan terkadang terdapat sebagian sikap
murid tidak bisa membedakan ketika berhadapan dengan guru dan kawan, baik dalam
tutur-kata maupun sikap. Ketawaduannya sudah tidak terperhatikan ketika
berhadapan dengannya. Bahkan terkadang berani secara terbuka menentang
perintahnya. Seolah-olah tidak punya rasa malu berbuat demikian. Bukan tidak
perlu kritis, tapi tata-caranya perlu dijaga pula, sehingga tidak menimbulkan
ketersinggungan hati guru. Akan tetapi sebandel apapun murid, seorang guru tetap
sayang kepada para muridnya. Bahkan senantiasa mendoakan muridnya agar ilmunya
berkah. Hal demikian tidak membedakan antara guru di pondok pesantren dan
sekolah.
Siapa yang salah di sini, apakah mayoritas karakter murid sekarang
sudah mengalami pergeseran adab tersebut seiring perkembangan zaman. Atau sistem
pendidikan kita yang salah. Padahal pemerintah telah berupaya menangani masalah
tersebut dengan diterapkannya pendidikan karakter di lembaga pendidikan. Atau
mungkin juga karena para gurunya sudah tidak bisa memelihara kepribadiannya
sebagai figur yang seharusnya menjadi teladan pertama. Artinya apa yang ia
perintahkan atau anjurkan kepada para muridnya, ia sendiri tidak melakukannya. Intinya
ia sendiri tidak memelihara integritas dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah salah jika kita membandingkan kondisi zaman sekarang dengan
zaman dahulu dalam hal kebaikan? Menurut penulis tidak ada salahnya jika hal
itu dilakukan, guna memupuk kesadaran kita dalam berintrospeksi diri untuk
kemajuan terutama dalam bidang akhlak. Bukankah akhlak berpengaruh terhadap
maju atau mundurnya suatu bangsa. Jika terus-menerus keadaan seperti ini, bagaimana jadinya generasi selanjutnya pada
masa yang akan datang. Apakah akan lebih bagus atau lebih jelek. Padahal jauh-jauh hari Rasulullah telah menegaskan kepada kita semua mengenai sebaik-baiknya masa adalah masaku, kemudian masa
selanjutnya, terus masa selanjutnya. Mudah-mudahan kita dan generasi
penerus kita terhindar dari ketidakberkahan ilmu Amin.
Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:
Hidayat, Enang (2018, 08 Pebruari). Mungkinkah Berkah Ilmu Masih Ada? [Entri blog]. Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2018/02/mungkinkah-berkah-ilmu-masih-ada.html
Comments
Post a Comment