Lawan Hoax dengan Menulis

Belakangan ini istilah “hoax” lagi viral diberitakan di media sosial. Bagi sebagian orang berita hoax dijadikan “bumbu” untuk memengaruhi psikologis masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan situasi sekarang menghadapi musim pemilihan kepala daerah (pilkada) dan tahun yang akan datang dengan pemilihan presiden (pilpres). Adanya berita hoax tersebut berpotensi menimbulkan permusuhan. Hal ini jelas tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang mengutamakan perdamaian dan toleransi. 

Istilah hoax dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak ditemukan. Karenanya istilah tersebut berasal dari bahasa Inggris. Artinya olok-olokan atau cerita bohong. Curtin D. Mac Daugall dalam karya yang berjudul “Hoaxes” sebagaimana dikutif Wikipedia (Ensiklopedia Bebas) mengartikan hoax dengan pemberitaan palsu, yakni informasi yang sesungguhnya tidak benar, tapi dibuat seolah-olah benar adanya. Kalau dalam istilah ilmu hadis, hal demikian dikenal dengan hadis maudu, yakni hadis yang diciptakan, lalu disandarkan kepada Rasulullah secara dusta. Sebagian motif penyebar hadis tersebut menurut ulama hadis karena faktor politik juga.

Berkaitan dengan berita hoax ini, Kapolri, Jenderal Tito Karnavian sebagaimana dikutif detiknews, Sabtu 3 Maret 2018, menjelaskan adanya pemberitaan terkait isu penyerangan ulama. Dari 45 isu penyerangan ulama, hanya 3 yang benar-benar terjadi di lapangan. Pertama, korbannya ulama atau pengurus masjid. Satu terjadi di Jawa Timur, dan dua terjadi di Jawa Barat. Berdasarkan hasil tes kejiwaan, pelakunya mengalami gangguan kejiwaan. Peristiwanya terjadi sepintas, namun oleh media sosial dibumbui. Kedua, adanya rekayasa terhadap peristiwa penyerangan. Hal tersebut terjadi di empat lokasi, yakni dua lokasi di Jawa Barat (Cilcalengka dan Ciamis), dan dua lakasi lainnya di Kediri (Jawa Timur), dan Balikpapan (Kalimantan Timur). Setelah diselidiki, ternyata perisitwa itu hanya rekayasa. Dan keempatnya mengakuinya itu rekayasa. Motifnya karena alasan ekonomi. Ketiga, penyerangan terhadap masyarakat umum, tapi karena rekayasa media sosial disebutkan penyerangan terhadap ulama. Keempat, penyerangan itu tidak pernah terjadi. Hal tersebut hanya dibuat-buat.

Memang betul sisi positif adanya media sosial dapat menghantarkan masyarakat memahami informasi yang belakangan terjadi. Namun sayangnya sebagian besar masyarakat belum menyadari sepenuhnya sisi negatifnya yang diakibatkan ulah sebagian orang yang mempunyai niat buruk dengan cara menyebarkan berita hoax guna beragam kepentingan tertentu.

Bahkan kejadian yang memprihatinkan kita semua juga, baru-baru ini kita mendengar berita di televisi dan membaca di media sosial lainnya terkait dengan pelajar di kota Sukabumi yang ditangkap pihak kepolisian gara-gara menyebarkan informasi hoax dan ujaran kebencian (hate speech). Hal seperti inilah yang tidak diinginkan menimpa generasi penerus kita semua. Sungguh mengkhawatirkan hal tersebut. Semoga tidak ada lagi kejadian serupa yang menimpa generasi penerus kita  ke depannya.

Atas kejadian tersebut, menjadi perhatian para peserta KKN STISNU Cianjur sehingga berinisiatif mengadakan Seminar Kepenulisan dengan mengusung tema “Lawan Hoax dengan Menulis” yang diselenggarakan pada hari Sabtu, tanggal 3 Maret 2018 bertempat di aula desa Cidadap Campaka-Cianjur. Pesertanya terdiri dari siswa tingkat kelas menengah. Menurut panitia alhamdulillah peserta yang mengikutinya berjumlah 53 orang.  

Tujuan dari kegiatan tersebut selain untuk memberikan motivasi kepada para peserta betapa pentingnya budaya tulis-menulis yang diawali sejak dini, juga dalam upaya mengingatkan para peserta agar tidak mudah terpengaruh dengan berita yang belum tentu benarnya sehingga men-share-nya kepada orang lain, baik melalui facebook atau  yang media sosial lainnya.   

Lalu apa saja langkah-langkah para siswa untuk melawan berita hoax ? Salah satunya dengan meningkatkan aktivitas tulis-menulis. Hal itu bisa dilakukan dengan fokus menulis cerpen, puisi, autobiografi, atau menulis pengalaman pribadi yang dikemas melalui gaya tulisan jenis faksi sehingga menarik untuk dibaca. Jika hal itu sudah terbiasa dilakukannya, maka di kemudian hari karena perkembangan usia dan pendidikannya, ia akan tertarik untuk menulis tulisan jenis non-fiksi. Aktivitas demikian bisa dikatakan jihad siswa yang cocok untuk belakangan ini.  

Dalam kesempatan tersebut, penulis sebagai salah satu narasumber sebelum mengakhiri pembicaraan terlebih dahulu menguji kemampuan para peserta dengan cara memberikan pertanyaan seputar sikap para peserta dalam upaya mencegah perilaku koruptif dalam kapasitasnya sebagai pelajar di sekolah. Bagi siswa yang bisa menjawab diberikan hadiah buku hasil karya penulis sendiri yang berjudul “Jihad Melawan Korupsi”. Hal ini tiada lain guna memotivasi para peserta agar rajin tulis-menulis sesuai kapasitasnya sebagai pelajar. Dalam buku tersebut penulis sajikan beberapa contoh kisah zaman Rasul dan sahabat terkait perilaku koruptif. Mudah-mudahan hal ini dapat dipahami oleh usia pelajar tingkat menengah. Sedangkan sebagian kontensnya tentunya belum dipahaminya saat ini. Namun, untuk ke depannya insya Allah dapat dipahaminya seiring dengan bertambahnya usia dan perkembangan tingkat pendidikannya. Amin.

Comments

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah