Melirik Strategi Menulis Para Ulama

Apa yang kita tuliskan semuanya berharap menjadi ilmu dan inspriratif bagi orang lain. Tak terkecuali memberi manfaat. Tidak hanya hari ini, tapi di masa yang akan datang. Terutama generasi penerus kita. Sehingga menjadi amal jariah, tatkala kita telah meninggal dunia. Inilah yang telah dilakukan oleh para ulama zaman dahulu. Hari ini, bahkan sepanjang masa, hasil karyanya bisa dinikmati. Sekalipun orangnya telah meninggal, namun karyanya masih terus bisa dinikmati. Meskipun waktu itu pasilitas yang tersedia untuk menulis masih sangat sederhana, tidak seperti sekarang.

Kita baca sejarah kebiasaan Imam Abu Hanifah tidak pernah tertinggal oleh kebiasaan membaca, tidak hanya membaca tentang ilmu, juga membaca realitas kehidupan sosial maupun budaya yang ada di sekelilingnya. Bahkan seringkali beliau menghadapi masalah yang  dihadapi umat ketika itu. Intinya beliau tidak hanya pandai membaca ayat yang tersurat seperti Alquran, tapi ayat tersirat pun hal yang sama, seperti fenomana alam. Sekalipun waktu itu beliau kesehariannya sebagai pedagang juga.  

Bagaimana dengan aktifitas menuliskan ilmu? Beliau sangat aktif menuliskan ilmu yang diperoleh dari para ulama atau hasil bacaan dari kitab. Beliau tidak pernah tertinggal dari pena dan kertas. Bahkan beliau mengingatkan akan pentingnya tulis-menuliskan ilmu kepada para muridnya. Karya monumentalnya seperti kitab "Al-Fiqh al-Akbar” tentang ilmu kalam. Menurut riwayat tidak ada karya yang secara langsung ditulis olehnya tentang bidang fikih. Hal ini wajar, karena pada masa itu belum berkembang usaha pembukuan. Akan tetapi murid-murid beliau membukukan dan menukil pendapat-pendapatnya.

Hal yang sama dilakukan oleh Imam Malik, baginya menulis merupakan kebiasaannya agar ilmu tetap lestari. Bahkan ia secara rapih menyimpan setiap catatan ilmu tersebut. Selain itu pandai mencari tempat yang dikira fokus untuk menulis. Sehingga tidak terganggu oleh orang lain. Kita mendengar salah satu karya monumentalnya berjudul “Al-Muwatta”, yakni kitab hadis.

Selanjutnya Imam Syafii, menulis syair yang berbunyi: “Ilmu seperti binatang buruan, sedangkan pengikatnya adalah catatan.” Bagi beliau menulis merupakan kegiatan yang menyenangkan. Karenanya beliau sering menuangkan pikiran-pikirannya dan imaginasinya menjadi sebuah karya. Hingga kini kita pun telah menikmati buah karyanya seperti “Al-Umm” dalam bidang fikih, “Ar-Risalah” dalam bidang ilmu usul fikih, “Musnad al-Syafii” dalam bidang hadis, dan karya-karya lainnya. 

Demikian pula Imam Ahmad bin Hanbal sama dengan para ulama di atas. Beliau mengabadikan ilmunya melalui tulisan. Menurutnya ilmu tidak cukup hanya yang ada di otak saja, melainkan perlunya ditulis. Hal ini untuk mengantisifasi sifat lupa di kemudian hari. Karenanya pemikiran demikian selaras dengan sabda Nabi riwayat Anas: “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” Sama seperti ulama lainnya, beliau sangat rapih dalam menuliskan ilmu. Bahkan beliau pernah berujar: “Aku akan membawa pena dan tinta ini hingga ke liang kuburku.” Sehingga tulisan beliau tentang hadis ditulisnya menjadi sebuah karya “Musnad Ahmad bin Hanbal”, dan karya-karya lainnya.

Apa saja strategi menulis para ulama yang menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-harinya? Di antaranya  adalah sering memanfaatkan waktu yang tepat untuk menulis seperti setelah melakukan salat malam. Sebagai contoh Imam Syafii menurut riwayat, malam baginya menjadi tiga bagian, 1/3 untuk istirahat, 1/3 untuk ibadah (salat malam), dan 1/3 lainnya untuk menulis. Selain itu siangnya rajin melakukan puasa. Terutama mengenai kezuhudannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan tak ketinggalan sikap hidup bersahaja, tanpa berambisi dalam kegelimangan harta dan jabatan. Begitu pun hal yang sama dilakukan oleh para ulama-ulama lainnya. Bagaimana dengan kita semua?

Tak terkecuali dilakukan pula oleh Imam Bukhari, pengarang kitab Sahih Al-Bukhari. Diriwayatkan beliau tidak pernah ketinggalan salat dua rakaat istikharah dalam menentukan pilihan sebuah hadis apakah sahih atau tidaknya yang akan ditulisnya ke dalam karyanya tersebut. Tak menutup kemungkinan hal demikian dilakukan pula oleh ilmuan-ilmuan muslim selanjutnya, termasuk zaman kontemporer seperti zaman sekarang. Termasuk para ulama dan ilmuan di negera tercinta ini.

Itulah perihal kehidupan ilmuan-ilmuan muslim yang super hebat yang sampai sekarang karya-karya mereka masih tetap lestari dan dimanfaatkan secara turun-temurun oleh seluruh muslim di dunia. Karena ilmu berasal dari Allah, maka mereka tidak pernah melupakan tirakat atau mendekatkan diri kepada pemberi ilmu tersebut, yakni Allah, Al-‘Alim, dalam setiap saat, termasuk ketika menuliskannya. Karenanya mereka tidak hanya sukses dalam urusan dunianya saja, tapi akhirat pun tak ketinggalan. Semoga kita pun bisa meneladaninya. Amin. 

Comments

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah