Esensi Khotbah Jumat
Kata “Khotbah” berasal dari kata “Khataba” yang artinya “Waaza”
yang berarti nasihat. Orang yang melaksanakan khotbah disebut dengan “Khatib”
jamaknya “Khutaba.” Demikian dikemukakan Luis Makluf (dalam Al-Munjid). Abu
Ishak sebagaimana dikutif Ibnu Manzur (dalam Lisanul Arab) menjelaskan orang
Arab menyebut khotbah dengan kalimat yang berbentuk nasar (tidak bersajak).
Jika kata “khotbah” disambungkan dengan kata “Jumat” sehingga
menjadi “khotbah Jumat” berarti maksudnya nasihat yang dikemukakan oleh khatib
ketika salat Jumat.Tentunya yang namanya nasihat harus dipahami oleh orang yang
diberi nasihatnya. Dengan demikian bagaimana mau mematuhi nasihat tersebut jika
tidak dipahami isinya. Mengingat masih ada sebagian khatib di masyarakat
kita yang berkhotbah dengan bahasa selain bahasa yang dipahami jamaah. Sehingga
jamaah tidak memahami isi atau kandungan
khotbah tersebut.
Kedudukan khotbah Jumat tersebut, para ulama telah sepakat hukumnya
termasuk syarat sah salat Jumat. Sehingga tidak sah tanpanya. Hal ini
berdasarkan pada firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman apabila telah
diseru untuk melaksanakan salat Jumat, maka bersegeralah kamu mengingat
Allah.” (Surah Aljumah: 9). Kata “mengingat” atau “zikr” bermakna khotbah. Karenanya
pantas Rasulullah Saw. menyebut sesungguhnya khotbah itu adalah memberi nasihat
(tazkiran). (HR. Baihaki dari Ibnu Juraij).
Selain itu bersandar pula pada praktik Rasulullah Saw. maupun
sahabat yang menjelaskan tentang keberadaan khotbah dalam salat Jumat. Salah
satu contohnya adalah hadis yang menceritakan Rasulullah khotbah salat Jumat
sambil berdiri, kemudian duduk, lalu berdiri lagi dan khotbah lagi (khotbah kedua). (HR. Muslim dari Jabir bin
Samurah). Juga hadis yang menceritakan bahwa Umar bin Khattab berdiri ketika
melaksanakan khotbah Jumat. (HR. Bukhari dari Ibnu Umar). Dan masih banyak lagi
riwayat hadis yang menjelaskan keberadaan khotbah Jumat.
Adapun adanya perbedaan pendapat para ulama seputar penggunaan
bahasa yang digunakan ketika pelaksanaan khotbah Jumat. Apakah mesti
berbahasa Arab atau boleh diganti dengan bahasa selainnya. Dalam hal ini Wahbah
Zuhaili (dalam Al-Fiqhul Islam Wa Adillatuhu) menjelaskannya
sebagai berikut.
Ulama Hanafiah berpendapat khotbah Jumat diperbolehkan bukan selain
bahasa Arab. Walaupun khatib mampu menggunakan bahasa Arab. Tidak membedakan apakah
bagi orang Arab atau bukan. Ulama Malikiah berpendapat khotbah Jumat harus menggunakan bahasa
Arab, sekalipun bukan orang Arab. Ulama Syafiiah sependapat sama dengan
Malikiah. Ulama Hanabilah berpendapat khotbah Jumat harus menggunakan bahasa Arab. Oleh
karena itu hukumnya tidak sah jika bukan dengan bahasa selainnya dan mampu
menggunakannya.
Dalam menyikapi perbedaan pendapat tersebut, Abdullah Tayyar (dalam
Al-Fiqhul Muyassar) menjelaskan jika mampu menggunakan bahasa
Arab, maka wajib dengan bahasa tersebut. Akan tetapi syaratnya jamaah yang
hadir harus mampu memahami bahasa tersebut. Karena yang menjadi tujuan pokok khotbah
adalah nasihat bagi yang orang yang dipanggil untuk melaksanakan salat Jumat. Jika
mereka tidak mampu memahaminya, maka tujuan khotbah tersebut tidak tercapai.
Oleh karena itu dalam hal ini diperbolehkan menggunakan bahasa yang dipahami
jamaah. Hal ini sesuai dengan firman-Nya: “Dan Kami tidak mengutus seorang
Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya. (Surah Ibrahim: 4).
Dalil tersebut diperkuat juga oleh ucapan Ali bin Abi Talib: “Berbicaralah
kepada manusia sesuai dengan bahasa yang mereka pahami. Apakah kalian menyukai Allah
dan Rasul-Nya dibohongkan.” (HR. Bukhari). Juga diperkuat oleh ucapan Abdullah
bin Masud: “Tidaklah engkau berbicara kepada suatu kaum yang tidak dapat
dipahami oleh akalnya kecuali akan menimbulkan fitnah bagi sebagiannya.” (HR.
Muslim).
Syekh Abdul Rahman al-Hamd (dalam Khutbatul Jumat fil Kitab was
Sunnah) mengutif penjelasan fatwa Syekh Abdullah bin Baz ketika ada seseorang yang
meminta fatwa terkait bahasa yang digunakan untuk khotbah Jumat. Beliau
menjawab dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat para ulama ada yang
mentidakolehkan dan ada juga yang membolehkan sebagaimana telah dikemukakan di
atas. Namun beliau sendiri berpendapat memelihara makna dan tujuan lebih
diutamakan dibanding dengan memelihara ucapan. Terlebih lagi apabila jamaah tidak
mampu memahami bahasa Arab. Sehingga isi khotbah tersebut tidak berpengaruh apaa-apa
kepada jamaah. Namun apabila terdapat jamaah yang memahaminya, maka dianjurkan
bagi khatib menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Arab kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa yang dipahami jamaah. Dengan demikian berkumpullah dua
kemaslahatan.
Bukankah Rasulullah Saw. juga pernah menyuruh Zaid bin Sabit mempelajari
bahasa Yahudi agar ia bisa menulis dengan bahasa mereka dan mengemukakan hujjah
dengan bahasa mereka pula. Begitu pun diriwayatkan ketika para sahabat berperang dengan
bangsa Persia dan Romawi, para sahabat tidak membunuh mereka sehingga mengajak mereka
masuk agama Islam melalui penerjemah.
Hal yang sama dikemukakan Al-Tuwaijiri (dalam Mausuah al-Fiqhil
Islam) hukumnya sunat khotbah Jumat dengan menggunakan bahasa Arab. Akan tetapi jika para jamaah tidak memahami bahasa tersebut, maka menerjemahkan
ke dalam bahasa yang dapat dipahami mereka adalah lebih utama.
Memelihara kemaslahatan menjadi tujuan hukum Islam. Di mana ada
hukum Islam, di situlah ada kemaslahatan. Maka, khotbah dengan menggunakan bahasa yang dipahami jamaah mengandung kemaslahatan di dalamnya. Namun dengan tetap memerhatikan adab cara memberikan nasihat yang baik. Memelihara agama (hifzuddin)
dan memelihara umat (hifzul ummat) yang merupakan bagian dari tujuan
hukum Islam terpenuhi di dalamnya. Wallau A’lam. Semoga bermanfaat. Amin.
Comments
Post a Comment