Mutiara Kisah Isra Mikraj Rasulullah Saw.

Berbagai riwayat hadis mutawatir yang telah diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat dan telah diriwayatkan pula oleh ulama ahli hadis, seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim mengenai kisah Isra Mikraj Rasulullah Saw. Di antara riwayat tersebut seperti kisah yang menceritakan saudara sepupu Rasulullah, Hindun putri Abu Talib, atau yang biasa dipanggil dengan Umu Hani menceritakan malam Isra itu, Rasulullah menginap di rumahnya. Beliau pada waktu sebelum Subuh membangunkan kami (kata Umu Hani), kemudian salat Subuh bersama, lalu setelah beres salat beliau bercerita: “Wahai Umu Hani, saya tadi malam diisrakan dari Masjidil Haram sampai ke Masjidil Aqsa, kemudian dimikrajkan dari langit pertama hingga Sidratul Muntaha, dan sekarang saya bisa salat berjamaah bersamamu. Umu Hani setelah mendengar cerita Rasulullah, berujar: “Jangan kau katakan hal ini kepada orang lain, karena mereka tidak akan memercayaimu. Beliau berkomentar: “Saya akan menceritakannya.”

Bagaimana penjelasan kisah tersebut? Dalam hal ini, Al-Qurtubi (dalam Al-Jami li Ahkamil Quran); Imam Suyuti (dalam Durrul Mansur fit Tafsir bil Ma’sur); Al-Tabari (dalam Tafsir Al-Tabari); dan Wahbah Zuhaili (dalam Tafsir Al-Wasit) menjelaskan kisah Isra Mikraj berdasarkan riwayat mutawatir yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah telah dibangunkan oleh Malaikat Jibril yang berwajah putih berseri dan berkeliauan seperti salju serta berpakaian berkilaun emas. Di sekelilingnya terdapat sayap-sayap beraneka warna. Dan tangannya memegang kendaraan Burak yang bersayap seperti Garuda. Burak adalah sejenis hewan yang lebih putih dan tinggi dari Himar, dan lebih pendek dari Bigal. Dan menurut riwayat Burak adalah kendaraan yang pernah dinaiki pula para Nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim ketika mengunjungi Masjidil Haram.

Dia (Burak) membungkuk di hadapan Rasulullah. Dan beliau pun menaikinya. Burak meluncur seperti anak panah di atas pegunungan Mekah. Dalam perjalanannya ditemani oleh seorang malaikat, yakni Jibril. Kemudian berhenti di gunung Sinai, tempat Allah berbicara dengan Nabi Musa. Dan berhenti lagi di Bethlehem, tempat Nabi Isa dilahirkan. Setelah itu meluncur lagi ke udara. Di sepanjang jalan, di kanan, di kiri, dan di depan, Rasulullah mendengar bisikan-bisikan misterius yang menyuruh menghentikan perjalanan. Namun beliau tidak menghiraukannya. Dan beliau beranggapan yang berhak menghentikan hanyalah Allah.  

Setelah sampai Baitul Mukaddas, beliau mengikatkan Burak tersebut. Dan di sana beliau melaksanakan salat dua rakaat bersama-sama dengan Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa. Dan Malaikat Jibril pun menanyakan apa yang telah didengar di sepanjang perjalanan tersebut. Rasululullah menjawabnya sebagaimana tadi telah disebutkan. Malaikat mengomentari: “Bisikan yang ada di sebelah kananmu itulah bisikan Yahudi. Jika engkau berhenti, maka umatmu akan menjadi Yahudi. Adapun bisikan di sebelah kirimu adalah bisikan Nasrani. Jika engkau berhenti, maka umatmu akan menjadi Nasrani. Sedangkan bisikan di hadapanmu adalah bisikan dunia. Jika engkau berhenti, maka engkau lebih mementingkan dunia daripada akhirat.” 

Kemudian Malaikat Jibril membawa dua wadah yang berisi minuman, lalu disodorkannya kepada Rasulullah. Wadah pertama berisi minuman susu, dan wadah yang satunya lagi berisi khamr. Malaikat Jibril menyuruh Rasulullah untuk meminumnya sekehendaknya. Dan yang diminum Rasulullah adalah wadah yang berisi minuman susu. Jibril lantas berkata: “Apa yang engkau lakukan adalah benar, wahai Muhammad dan engkau telah mendapatkan kesucian. Jika engkau memilih minuman khamr, maka umatmu akan celaka.”

Selanjutnya Rasulullah diantar Malaikat Jibril naik ke langit pertama. Di langit tersebut, beliau bertemu dengan Nabi Adam dan memberi hormat kepadanya. Di langit kedua bertemu dengan Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf. Di langit keempat bertemu dengan Nabi Idris. Di langit kelima bertemua dengan Nabi Harun. Di langit keenam beliau bertemu dengan Nabi Musa. Di langit ketujuh, beliau bertemu dengan Nabi Ibrahim sambil menyandarkan punggungnya ke Baitul Makmur. Setiap harinya ke Baitul Makmur masuk tujuh puluh ribu malaikat dan tidak kembali lagi. Semua para Nabi tersebut menyambut kedatangan Rasulullah dengan senang hati.

Kemudian dari sana Rasulullah berangkat ke Sidaratul Muntaha dengan tidak diantar lagi Malaikat Jibril. Dan tidak ada seorang pun yang pernah memasukinya selain beliau sendiri. Serta tidak ada seorang pun yang sanggup membayangkan keindahannya. Dan di sanalah beliau menerima wahyu kewajiban salat lima puluh kali dalam setiap hari dan malamnya. Lalu Rasulullah turun, sehingga bertemu dengan Nabi Musa. Dan Nabi Musa bertanya kepadanya perihal kewajiban atas umat Rasulullah. Rasulullah menjelaskannya bahwa beliau dan umatnya dibebani kewajiban salat sebanyak lima puluh kali. Mendengar jawaban Rasulullah tersebut, Nabi Musa menyarankan agar Rasulullah kembali lagi dan meminta keringanan terhadap Allah, mengingat umat beliau tidak akan sanggup melaksanakannya. Karena hal tersebut sebelumnya telah dicobanya oleh kaum Bani Israil.

Kemudian Rasulullah kembali lagi kepada Allah sebagaimana saran Nabi Musa tersebut. Akhirnya Allah menjawab permohonan tersebut, sehingga kewajiban salat menjadi lima waktu dalam setiap hari dan malamnya. Dan hal itu diceritakanlah kepada Nabi Musa. Namun Nabi Musa menyarankannya agar kembali untuk meminta keringanan kepada Allah, karena umat Rasulullah tidak akan sanggup juga melaksanakannnya. Rasulullah pun pulang pergi antara Nabi Musa dan Allah untuk minta keringanan tersebut. Kemudian Allah menerangkan kepada Rasulullah perihal kewajiban salat lima waktu yang keutamaannya sama dengan lima puluh kali salat. Artinya setiap kali salat pahalanya sama dengan pahala sepuluh kali salat. Maka jumlahnya sama dengan lima puluh kali salat. Kemudian dijelaskanlah kembali berita tersebut kepada Nabi Musa. Namun tetap Nabi Musa masih menyarankannya agar kembali minta keringanan kepada Allah. Rasulullah berkomentar; “Aku telah pulang pergi kepada Allah minta keringanan, sehingga aku merasa malu.”

Al-Qurtubi mengutif penjelasan kesepakatan para ulama dan ahli sejarah tentang salat lima waktu tersebut diwajibkan di Mekah ketika peristiwa Isra Mikraj. Adapun adanya perbedaan pendapat para ulama, baik ulama salaf maupun khalaf terkait dengan hal sebagai berikut.

Pertama, apakah peristiwa Isra Mikraj tersebut dengan ruh atau jasad Rasulullah. Sebagian ulama berpendapat bahwa terjadinya dengan ruh. Karena antara jiwa dan tempat tidurnya tidak berpisah. Hal tersebut dialami berupa mimpi yang keberadaanya diyakini sebuah kebenaran mengingat Muhammad seorang Nabi dan Rasul. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Aisyah, Muawiyah, Hasan dan Ibnu Ishak. Sebagian lainnya berpendapat dengan jasad. Artinya beliau dalam keadaan tidak tidur, sampai ke Baitul Muqaddas. Sedangkan tatkala naik (mikraj) dengan ruhnya.

Kemudian mayoritas ulama salaf berpendapat Isra dengan jasadnya, karena Rasulullah naik kendaraan Burak dari Mekah hingga Baitul Muqaddas, dan melakukan salat di sana. Seandainya Isra dalam keadaa sedang tidur, maka dalam ayat tersebut (Surah Alisra:1) dikatakan birûhi abdihî, bukan biabdihî. Selain itu pula seandainya dalam keadaan tidur (berupa mimpi), maka tidak menjadi sebuah tanda-tanda kebesaran-Nya dan tidak menjadi mukjizat pula. Dan Ummu Hani pun tidak akan mengatakan kepada Rasulullah: “Janganlah engkau ceritakan peristiwa tersebut kepada masyarakat, karena mereka akan menganggapmu berbohong.” Begitu pun Abu Bakar pun tidak akan diberi gelar As-Shiddiq.  

Kedua, mengenai sejarah terjadinya. Ali Ibnu Syihab dan Musa bin Urwah berpendapat terjadinya satu tahun sebelum hijrahnya Rasulullah ke Madinah. Hal ini bersandar pada perkataan Aisyah yang menegaskan Khadijah meninggal dunia sebelum diwajibkannya salat. Selanjunya Ibnu Syihab berpendapat terjadinya tujuh tahun setelah biksah (diangkatnya jadi Rasul). Sementara itu Al-Waqas berpendapat terjadinya lima tahun setelah biksah. Kemudian Abu Amr berpendapat peristiwanya terjadi beberapa tahun sebelum beliau hijrah, karena Khadijah meninggal dunia lima tahun sebelum Rasulullah hijrah.

Ketiga, mengenai tata cara pelaksanaan ketika salat tersebut telah diwajibkan. Berdasarkan riwayat dari Aisyah, salat asalnya diwajibkan dua rakaat dua rakaat. Kemudian ditambah lagi dua rakaat ketika hadir (ketika tidak bepergian), sehingga sempurnalah menjadi empat rakaat. Karenanya ditetapkanlah jumlah rakaat salat safar (ketika berpergian) sebanyak dua rakaat. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Syakbi, Maimun, Ibnu Mihran, dan Muhammad bin Ishak. Syakbi menambahkan kecuali salat Magrib.

Ibnu Ishak berpendapat Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah tatkala salat telah diwajibkan. Malaikat Jibril melaksanakan wudu, seperti di dalamnya menghirup air, berkumur-kumur, mengusap kepala dan kedua telinganya, dan membasuh kedua kakinya hingga kedua mata kakinya, kemudian salat sebanyak dua rakaat dengan empat kali sujud. Semuanya itu disaksikan pula oleh Rasulullah sendiri. Sehingga tatkala Rasulullah pulang ke rumah, beliau menceritakan peristiwa tersebut ke Khadijah. Dan Rasulullah beserta Khadijah bersama-sama melaksanakan salat tersebut sebagaimana apa yang telah dipraktikkan oleh Jibril.

Berdasarkan riwayat Ibnu Abbas, Nafi, Jubair, dan Hasan Basri ketika hadir (tidak berpegian) salat diwajibkan sebanyak empat rakaat, sedangkan ketika bepergian sebanyak dua rakaat. Dan mereka tidak beda pendapat tentang Malaikat Jibril ketika waktu Subuh malam Isra mendatangi Rasulullah dan mengajari Rasulullah salat dan perihal waktunya. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Ibnu Juraij.

Terlepas dari adanya perbedaan pendapat sebagaimana telah dikemukakan di atas, yang jelas kisah Isra Mikraj Rasulullah Saw. telah membawa hikmah yang sangat berharga bagi kaum muslimin, yakni kewajiban salat lima waktu yang keutamaannya sama dengan lima puluh kali salat. Di dalamnya terdapat ajaran yang mengisyaratkan kesabaran dalam upaya meraih keberhasilan. Hal ini  secara ekplisit dijelaskan dalam upaya permohonan Rasulullah terkait dengan kewajiban salat kepada Allah atas saran Nabi Musa sebagaimana telah dijelaskan dalam kisah di atas. Perjuangan ini bukan untuk kepentingan dirinya, akan tetapi untuk umatnya. Di sinilah sifat Rasulullah yang mengasihi dan menyayangi umatnya. Suatu contoh yang patut diteladani terutama oleh para pemimpin. Kisah Isra Mikraj yang termasuk mukjizat immaterial juga dapat memperkokoh keimanan terhadap kekuasaan-Nya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.  Semoga bermanfaat. Amin.


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah