Puasa di Bulan Syakban
Sebelum membahas hukum puasa di bulan Syakban, kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu kenapa bulan tersebut disebut dengan Syakban. Kata Sya'baanu jamaknya Sya'baanaatun wa Sya'aabiinu. Ibnu Manzur (dalam Lisanul Arab) menjelaskan karena orang-orang Arab ketika itu berpencar-pencar mencari air (litasya'ubihim fihi ae litafarruqihim fi talabil mai). Kemudian Sa'lab mengemukakan pendapat sebagian ulama disebut Syakban karena bulan tersebut jelas ada di antara bulan Ramadan dan Rajab. Sedangkan Imam Gazali (dalam Mukasyafatul Qulub) menjelaskan disebut bulan Syakban karena pada bulan tersebut bercabang-cabangnya kebaikan.
Selain salat malam, puasa sunat merupakan kebiasaan Rasulullah Saw. dalam perjalanan kehidupannya. Hal ini merupakan bentuk pendekatan beliau kepada Sang Khalik. Tentunya bukan hanya kedua ibadah tersebut, ibadah-ibadah lainnya pun tak terkecuali. Bagaimana dengan puasanya Rasulullah di bulan Syakban ini? Penulis menelusuri beberapa referensi yang berhubungan dengan pembahasan tersebut.
Selain salat malam, puasa sunat merupakan kebiasaan Rasulullah Saw. dalam perjalanan kehidupannya. Hal ini merupakan bentuk pendekatan beliau kepada Sang Khalik. Tentunya bukan hanya kedua ibadah tersebut, ibadah-ibadah lainnya pun tak terkecuali. Bagaimana dengan puasanya Rasulullah di bulan Syakban ini? Penulis menelusuri beberapa referensi yang berhubungan dengan pembahasan tersebut.
Dalam sebuah
hadis dikatakan puasa yang paling banyak dilakukan Rasulullah adalah puasa di
bulan Syakban. (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah). Ibnu Hajar Asqalani
(dalam Fathul Bari bi Syarh Sahihil Bukhari) menjelaskan maksud hadis tersebut adalah Rasululah lebih
banyak melaksanakan puasa sunat di bulan Syakban dibanding dengan puasa sunat
di bulan lainnya. Bahkan menurut riwayat Aisyah lainnya puasa tersebut dilakukannya
bersambung dengan puasa Ramadan. (HR. Ibnu Majah). Menurut riwayat lain dari Umu Salamah.
(Rawahul Khamsah).
Kenapa
Rasulullah memperbanyak puasa sunat di bulan Syakban? Ibnu Hajar Asqalani dan Al-Syaukani (dalam Naiul Autar) menjelaskan
alasannya yang terhimpun ke dalam empat pendapat sebagai berikut.
Pendapat
pertama, Rasulullah terbiasa melaksanakan
puasa sunat seperti tiga hari setiap bulan Hijriah (tanggal 13,14, dan 15),
baik ketika hadir maupun bepergian. Namun ketika beliau tidak
melaksanakannya, karena alasan tertentu, maka beliau mengumpulkan dan mengqadanya
di bulan Syakban. Demikian dikemukakan oleh Ibnu Batal. Hal ini berdasarkan hadis:
“Rasulullah senantiasa berpuasa tiga hari setiap bulannya. Tatkala beliau tidak
melakukannya, maka beliau menggantinya dan mengumpulkannya di bulan syakban. (HR.
Tabrani dari Aisyah).
Pendapat kedua, dalam rangka
mengagungkan Ramadan. Hal ini berdasarkan hadis: “Rasulullah pernah ditanya
mengenai puasa yang lebih utama setelah Ramadan. Beliau menjawab: ‘Syakban, karena
mengagungkan Ramadan.” (HR. Tirmizi dari Anas).
Pendapat ketiga, dalam rangka
menyertai para isterinya yang mengqada puasa Ramadan di bulan Syakban. Hal ini
berdasarkan hadis: “Aku (kata Aisyah) tidak sanggup mengqada puasa Ramadan
kecuali di bulan Syakban.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Salamah).
Keempat, bulan yang
sering dilupakan manusia. Hal ini berdasarkan hadis: “Ya Rasulullah saya (kata
Usamah) tidak pernah melihatmu puasa sunat sebanyak di bulan Syakban.
Rasulullah berkomentar: “Bulan Syakban adalah bulan yang banyak dilupakan (tidak
diagungkan) manusia yang ada di antara Rajab dan Ramadan. Di bulan tersebut,
dilaporkan amal kepada Allah dan saya merasa senang dilaporkan amal ketika dalam
keadaan sedang puasa.”(HR. Nasai dan Abu Daud dari Usamah).
Bagaimana jika kita melakukan puasa di bulan Syakban? Dalam
keterangan hadis tidak ditemukan larangan kita melakukan puasa di bulan
Syakban, kecuali terkait dengan larangan puasa pada hari Syak, yakni puasa
tanggal 30 Syakban dan keberadaannya diragukan termasuk bulan Ramadan serta larangan puasa
setelah pertengahan Syakban. Hal ini
berdasarkan kisah yang menceritakan suatu ketika Silah bersama-sama dengan Amar
pada hari Syak. Kemudian ia berkata: “Barang siapa berpuasa pada hari Syak,
maka ia telah mendurhakai Rasulullah.” (HR. Abu Daud dari Silah).
Al-Khitabi sebagaimana dikutif Muhamad Asyraf Abari (dalam Aunul
Ma’bud ala Syarh Sunan Abi Daud) mengemukakan perbedaan pendapat terkait dengan makna larangan
sebagaimana disebutkan dalam hadis tersebut. Imam Malik, al-Auzai, dan Imam Abu
Hanifah berpendapat larangan tersebut berlaku bagi orang yang berniat puasa
tersebut bagian dari puasa Ramadan. Sedangkan jika niatnya puasa Syakban, maka
diperbolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishak bin Rahawih menambahkan
kebolehan tersebut termasuk keringanan (rukhsah). Pendapat lain dikemukakan
Ikrimah pada hari tersebut tidak diperbolehkan seseorang melakukan puasa, baik
puasa fardu maupun sunat.
Namun demikian diperbolehkan berpuasa pada hari Syak bagi orang
yang terbiasa melaksanakan puasa sunat seperti puasa Senin dan Kamis, puasa
Daud. Atau puasa wajib seperti puasa qada, puasa nazar, dan puasa kifarat. Hal
ini berdasarkan pada hadis riwayat Abu Hurairah yang menceritakan bahwa
Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian mendahului puasa Ramadan dengan
berpuasa sehari atau dua hari, kecuali orang yang sudah terbiasa melakukan
puasa.” (HR. Bukhari dan Abu Daud).
Selain itu berdasarkan pada hadis riwayat Abu Hurairah juga yang
menerangkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila masuk pertengahan bulan
Syakban, maka janganlah kalian melakukan puasa.” (HR. Abu Daud). Ibnu Hajar
Asqalani menjelaskan mayoritas ulama berpendapat
bolehnya melaksanakan puasa sunat setelah pertengahan Syakban berdasarkan hadis
tersebut. Sementara itu Imam Ruyani—salah seorang ulama Syafiiah—menjelaskan
hukumnya haram mendahului puasa Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari dan
hukumnya makruh puasa setelah pertengahan Syakban. Sedangkan mayoritas ulama
berpendapat boleh melakukan puasa sunat setelah pertengahan Syakban tersebut.
Ibnu Hajar Asqalani dan Muhamad Asyraf
Abari menjelaskan alasan (ilat hukum) larangan melakukan
puasa hari Syak menurut para ulama. Pertama, karena khawatir puasa hari
tersebut sudah masuk ke dalam puasa bulan Ramadan. Kedua, karena puasa
hari tersebut berkaitan dengan kegiatan rukyat hilal. Ketiga, karena khawatir
bercampurnya puasa sunat dengan puasa fardu. Dengan kata lain alasan larangan
tersebut intinya karena kehati-hatian (ihtiyat). Sedangkan Al-Mubarak Fauri (dalam Tuhfatul Ahwazi Syarh Jamiut
Tirmizi) mengutif pendapat Al-Qari (dalam Al-Marqah) larangan tersebut sebagai bentuk kasih-sayang (rahmat) kepada
umat Rasulullah Saw.
Sebagai kesimpulan berikut ini penulis kutif pendapat Al-Qurtubi sebagaimana
dijelaskan Ibnu Hajar Asqalani bahwa tidak ada pertentangan antara hadis yang melarang puasa setelah pertengahan
bulan Syakban dan hadis yang melarang mendahului puasa Ramadan dengan berpuasa
sehari atau dua hari dan hadis tentang menyambung puasa Syakban dengan puasa
Ramadan. Menurutnya mengkompromikan ketiga hadis tersebut merupakan jalan yang
memungkinkan. Sehingga larangan tersebut berlaku bagi orang yang tidak mempunyai kebiasaan
melakukan puasa sunat seperti puasa Senin dan Kamis, puasa Daud dan bukan
karena alasan puasa qada, puasa nazar dan puasa kifarat seperti telah
disebutkan di atas. Wallahu A’lam. Semoga bermanfaat. Amin.
Tah aya kanggo materi pangaosan jum'at enjing ...nuhun
ReplyDeleteSami-sami pengersa.
DeleteAllohumma bariklana fi rojaba wa sya'bana wa ballighna fii syahro romadon. aamiin..
ReplyDelete