Esensi Takwa dalam Puasa Ramadan
Para ulama mengemukakan beragam definisi takwa sebagaimana dikutif
Al-Jurjani (dalam Al-Ta'rifat) yang pada intinya takwa adalah upaya
totalitas seseorang menaati perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Dan
ungkapan takwa yang lebih sederhana lagi dikemukakan Ragib al-Asfahani (dalam al-Mufradat
fi Garib al-Quran) dengan memelihara jiwa agar terhindar dari perbuatan
dosa.
Dosa yang digambarkan dalam hadis menjadikan hati seseorang yang
melakukannya tidak tenang atau galau. Dan pelaku dosa tersebut enggan apabila
kelihatan oleh orang lain. (HR. Muslim dari Nawas bin Saman al-Ansari). Dengan takwa
jelas sekali keadaan demikian dapat dihindarkan. Karenanya pantas juga Allah
menegaskan kekhawatiran dan kesedihan akan terhindar dari orang yang takwa
(Surah Al-Araf: 35).
Puasa yang kita lakukan pada intinya Allah mengharapkan dengan puasa
itu agar kita sampai kepada derajat atau predikat sebagai orang yang takwa. Dan
maksud takwa yang dikemukakan oleh mayoritas para ulama--ketika menafsirkan
ujung surah Albaqarah: 183--adalah agar kita terhindar dari gejolak hawa nafsu
yang menjadi penyebab seseorang melakukan perbuatan maksiat.
Takwa yang jadi tujuan puasa Ramadan menurut Sayid Qutub (dalam Tafsir
fi Zilal al-Quran) dapat menyadarkan hati seseorang untuk melaksanakan
kewajiban puasa Ramadan sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya guna meraih
rida-Nya. Selain itu takwa juga dapat melindungi atau memelihara hati dari
hal-hal yang menyebabkan rusaknya puasa Ramadan karena melakukan perbuatan
maksiat.
Apa yang dikemukakan Sayid Qutub tersebut mengindikasikan bahwa
dasar takwa itu dalam hati yang mendorong anggota tubuh untuk bereaksi
melakukan aktivitas seperti puasa Ramadan dan ibadah lainnya. Maksudnya hati
yang merupakan panglima dalam tubuh menginstruksikan anggota tubuh lainnya untuk
melakukan puasa.
Karenanya tepat sekali Al-Tuwaijiri (dalam Mausuatu Fiqh al-Qulub) membagi domain takwa secara umum kepada dua bagian. Pertama, takwa
yang bersemayam di dalam hati (taqwa al-qulub). Jenis takwa ini merupakan pondasi dan sumber yang membuat seseorang
itu disebut orang takwa. Kedua, takwa yang bersemayam dalam anggota
tubuh (taqwa al-jawarih). Jenis takwa ini merupakan konsekuensi logis atau buah dari jenis takwa
pertama. Karena itu jenis takwa kedua ini tidak ada nilanya jika tidak dibarengi
dengan takwa jenis pertama. Dan Allah pun menyuruh hamba-Nya agar mengamalkan
ajaran Islam tidak hanya zahiriahnya saja, tapi harus disertai dengan
batiniahnya. Zahiriah dimaksud adalah keislaman seseorang. Sedangkan
batiniah dimaksud adalah keimanannya yang bersemayam dalam hati.
Dari dua domain takwa tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa kesatuan antara hati dan anggota tubuh merupakan esensi takwa yang
merupakan tujuan puasa Ramadan. Dan yang dijadikan ukuran untuk menilai
seseorang itu takwa atau tidaknya tidak cukup hanya menilai dari segi zahiriahnya
saja, melainkan harus dengan batiniahnya. Namun karena urusan batiniah itu hanya
Allah dan diri sendiri yang mengetahuinya, maka hanya Allah-lah yang
menilainya. Di sinilah perlunya berbaik sangka kepada orang lain dalam urusan
yang tidak kelihatan apa yang terdapat dalam isi hatinya.
Oleh karena itu kaitannya dengan ibadah puasa, dalam hadis qudsi
Allah berfirman: "Sesungguhnya puasa itu untukku dan aku pula yang akan
membalasnya" (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Hadis tersebut menurut sebagian ulama sebagaimana dikemukakan Imam
Nawawi (dalam al-Minhaj) secara implisit
menegaskan bahwa puasa itu termasuk ibadah yang sirriah. Oleh karena itu dalam melakukannya terhindar
dari riya. Hal ini berbeda dengan ibadah lain yang zahiriah
seperti salat, puasa, dan zakat.
Pantas saja Rasulullah dalam hadis lain menegaskan takwa itu
terletak di dada. Beliau menunjuk dadanya sebanyak tiga kali (HR.
Muslim dari Abu Hurairah). Hadis ini menurut Imam Nawawi (dalam Al-Minhaj) mengindikasikan bahwa perbuatan zahir itu belum bisa
memastikan ketakwaan seseorang. Akan tetapi apa yang terkandung dalam
hatinya yang dapat memastikannya, seperti selalu takut dan merasa diawasi oleh
Allah. Hadis ini juga didukung oleh pernyataan hadis Nabi lainnya masih dalam
riwayat Muslim dari Abu Hurairah yang menegaskan sesungguhnya Allah tidak
melihat jasad dan rupamu, melainkan melihat hatimu (Nabi sambil menunjukkan pula ke dalam dadanya
sebanyak tiga kali).
Kaitannya dengan puasa, boleh jadi seseorang di depan orang lain
pura-pura puasa, padahal sebenarnya ketika di belakang tidak demikian, karena
tidak ada dorongan hatinya yang kuat untuk melaksanakan puasa tersebut. Di
sinilah dikatakan ia belum memenuhi kriteria esensi takwa tersebut. Semoga
bermanfaat. Amin.
Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:
Hidayat, Enang (2018, 28 Mei). Esensi Takwa dalam Puasa Ramadan [Entri blog]. Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2018/05/esensi-takwa-dalam-puasa-ramadan.html
Perpaduan jiwa dan raga...
ReplyDelete