Kisah Puasa Umat Terdahulu
Kata “puasa” dalam bahasa Arab disebut dengan “saum” (صوم) atau “siyam”
(صيام).
Keduanya secara bahasa berarti menahan (إمساك). Arti demikian bisa ditemukan dari
kata-kata Maryam ketika ia diperintah Allah mengucapkan kalimat kepada
orang-orang yang melihatnya dengan ucapan: “Saya bernazar kepada Allah akan
saum (tidak akan berbicara kepada siapapun), kecuali berbicara dengan Malaikat
dan bermunajat kepada sang Khalik. (Surah Maryam: 26). Demikian dikemukakan Al-Qurtubi (dalam
Jami al-Ahkam) dan Wahbah Zuhaili (dalam Tafsir Munir).
Bagaimana awalnya puasa Ramadan diwajibkan? Ketika Rasulullah
hijrah ke Madinah, beliau menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari
Asyura guna memperingati selamatnya Nabi Musa dari kejaran Firaun. Selanjutnya
Rasulullah pun menganjurkan kepada para sahabat agar melakukan puasa Asyura,
namun bukan dalam rangka ikut-ikutan seperti apa yang dilakukan orang-orang Yahudi.
Selain melaksanakan puasa Asyura, Rasulullah Saw. pun melaksanakan puasa tiga hari tiap bulannya.
Kemudian tatkala diwajibkan puasa Ramadan (tahun 2 Hijriah), yaitu dengan
turunnya Surah Albaqarah: 183, maka beliau berkata kepada para sahabat:
“Sekarang telah diwajibkan puasa Ramadan, jika kalian akan meneruskan puasa
Asyura, maka silahkan, dan jika tidak pun tidak apa-apa.” Keterangan ini secara implisit menyebutkan Rasulullah Saw. dan para sahabat sebelum adanya
kewajiban melaksanakan puasa Ramadan tidak pernah melaksanakan puasa wajib yang
lain.
Sebagaimana telah diketahui bahwa kewajiban puasa Ramadan bagi kaum
mukminin (umat Nabi Muhamad Saw) telah diwajibkan pula sebelumnya kepada
umat-umat terdahulu. (Surah Albaqarah: 183). Namun dalam memahami
maksud “umat terdahulu”, para ulama berbeda pendapat.
Al-Tabari (dalam Tafsir al-Tabari), Imam Suyuti (dalam
Tafsir Durru al-Mansur), dan
Ibnu Nuruddin (dalam Taisir al-Bayan Li Ahkam al-Quran) menjelaskan
ulama berpendapat umat terdahulu dimaksud adalah Ahlul Kitab. Muhammad Abduh
(dalam Tafsir al-Manar) menjelaskan mereka adalah kaum mukminin
penganut agama terdahulu. Al-Tabatabai
(dalam Al-Mizan fi Tafsir al-Quran) menjelaskan mereka adalah umat-umat
terdahulu penganut agama secara umum. Sementara
itu Wahbah Zuhaili (dalam Tafsir
Munir) menjelaskan mereka adalah kaum mukminin penganut agama tertentu
sejak Nabi Adam.
Namun Al-Qurtubi (dalam Jami al-Ahkam) menjelaskan keumuman
riwayat menyebutkan mereka adalah kaum Ahlul Kitab. Hal ini sebagaimana
dikisahkan bahwa Allah telah mewajibkan puasa Ramadan selama sebulan kepada
kaum Nabi Musa dan Isa. Akan tetapi pemimpin mereka menyuruhnya agar
menambahkannya sepuluh hari lagi, sehingga menjadi empat puluh hari. Kemudian
ketika itu mereka sakit, dan mereka bernazar jika Allah menyembuhkannya, akan
menambahkannya selama sepuluh hari lagi. Sehingga kaum Nasrani ketika itu melaksanakan
puasa selama lima puluh hari. Dan tatkala merasa kesulitan melaksanakannya
karena musim panas, lalu mereka memindahkannya kepada musim semi. Demikian
riwayat Syakbi dan Qatadah.
Sedangkan dalam riwayat Sadi, ketika diwajibkan puasa Ramadan
kepada kaum Nasrani, mereka tidak boleh makan dan minum setelah tidur. Begitu
pun tidak boleh menikah pada bulan Ramadan. Sehingga hal tersebut
menyebabkannya merasa kesulitan. Kemudian mereka sepakat melakukan puasa
tersebut antara musim dingin dan musim panas. Juga mereka menambah waktu selama
dua puluh hari sebagai kifarat atas perbuatan mereka. Dengan demikian jumlah
puasa yang dilakukannya selama lima puluh hari juga. Dan ketika itu kaum
muslimin melakukan seperti apa yang telah dilakukan kaum Nasrani, seperti Abu Qais bin Sirmah dan Amr bin Khitab. Kemudian Allah membolehkan
kepada kaum muslimin, makan dan minum serta jimak hingga terbit fajar. Demikian dikemukakan Imam
Nawawi (dalam Durru al-Mansur).
Pendapat yang berbeda dikemukakan Al-Tabatabai (dalam Tafsir al-Mizan) yang menjelaskan
ayat tersebut (Surah Albaqarah: 183) maksudnya bukan berarti semua umat Nabi
terdahulu diwajibkan berpuasa, tanpa ada pengecualian, seperti puasa Ramadan. Akan tetapi ayat tersebut menunjukkan hukum asal puasa, yakni menahan sesuatu, bukan dari
segi kekhususannya. Dan Alquran pun tidak menyebutkan siapa saja kaum yang
dimaksud. Selain itu menurut Yahudi dan Nasrani dalam Taurat dan Injil pun tidak
ditemukan sesuatu yang menunjukkan kewajiban berpuasa. Hanya saja kedua kitab
tersebut memuji orang yang berpuasa dan mengagungkannya. Makanya di antara mereka ada yang berpuasa pada hari-hari
tertentu dalam setahun dengan beragam cara, seperti berpuasa tidak makan
daging, minum susu, dan ada juga yang berpuasa dari makan serta minum sebagaimana biasa. Dan dalam
Alquran pun disebutkan kisah Nabi Zakaria (Surah Maryam: 10) dan kisah Maryam (Surah Ali Imran: 41) yang
berpuasa dari berkata sesuatu.
Puasa pun menurut penjelasan Muhamamd Abduh dan Wahbah
Zuhaili telah disyariatkan kepada semua agama hingga agama Wasani
(penyembah berhala). Dan puasa juga telah dikenal oleh bangsa Mesir Kuno,
Yunani, Rumania, dan India. Dalam Taurat
disebutkan pujian bagi orang yang melakukan puasa. Karenanya Nabi Musa pernah
melaksanakan puasa selama empat puluh hari menjelang turunnya Taurat. Kaum Yahudi
pun pernah melaksanakan puasa selama seminggu dalam rangka memperingati
robohnya Yerusalem. Dan kepada kaum Yahudi juga dalam Taurat diwajibkan puasa tiap tanggal sepuluh pada bulan ketujuh. Ketika itu mereka melakukannya malamnya
saja. Dan pada hari lainnya mereka melakukannya siangnya saja.
Hal yang sama dilakukan kaum Nasrani, mereka memuji orang yang
berpuasa sebagai perbuatan ibadah. Bahkan bagi yang berpuasa diperintahkan mengoles
rambutnya dengan minyak dan membasuh wajah. Alasannya agar tidak terlihat
seperti ciri-ciri orang yang puasa. Atau untuk menghindarkan diri dari sifat
riya. Adapun puasa yang terkenal mereka lakukan adalah puasa yang telah
dilakukan Nabi Musa dan Isa serta kaum Hawariyin (pengikut setia Nabi Isa).
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai pemahaman maksud “umat
terdahulu”, yang jelas puasa merupakan sebuah metode munajat kepada Tuhan yang
telah dibuktikan keampuhannya oleh umat terdahulu. Terlebih lagi puasa Ramadan yang kedudukannya
wajib bagi kaum mukminin banyak sekali hikmah dan keutamannya bagi kehidupan selain untuk mencapai derajat ketakwaan. Dan dapat rasakan pula nikmat
yang tiada taranya pelaksanaan puasa tersebut dilakukan secara berjamaah,
terutama dengan keluarga kita, baik ketika sahur, buka puasa, dan salat
Tarawih. Insya Allah pembahasan mengenai hikmah dan keutamaan puasa Ramadan secara
khusus akan dijelaskan pada judul selanjutnya (Makna Filosofi Puasa Ramadan). Semoga bermanfaat. Amin.
Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:
Hidayat, Enang (2018, 20 Mei). Kisah Puasa Umat Terdahulu [Entri blog]. Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2018/05/kisah-puasa-umat-terdahulu.html
Comments
Post a Comment