Makna Memakmurkan Masjid
Salah satu foint yakni point keempat berbicara tentang tempat
ibadah bukan hanya untuk kepentingan ritual keagamaan semata, seperti salat,
melainkan untuk kepentingan pendidikan, dakwah Islam, politik keumatan seperti
bagaimana cara memilih pemimpin sesuai ketentuan agama, ekonomi keumatan, serta
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam point tersebut secara tegas dikatakan politik keumatan.
Karenanya K.H. Ma'ruf Amin menegaskan agar tidak menjadikan masjid sebagai wahana
penyampaian aspirasi partai politik tertentu, seperti terkait pilkada 2018 dan
pilpres 2019 yang akan kita hadapi. Hal ini berfungsi menempatkan agama sebagai
sumber inspirasi untuk membentuk perilaku politik yang beradab.
Istilah masjid berasal dari kata “sajada” yang berarti bersujud
atau menyembah. Dengan demikian kata
masjid mengandung arti tempat bersujud. Dan fungsi masjid ini pada zaman
Rasulullah Saw. memiliki dua fungsi, yakni fungsi ibadah, dan fungsi sosial.
Artinya fungsi masjid tidak hanya sebatas melaksanakan ritual salat, melainkan juga
untuk memperkuat ikatan jamaah Islam yang baru saja tumbuh. Karenanya ketika
itu Rasulullah Saw. memanfaatkan masjid sebagai sarana untuk pendidikan, menjelaskan
wahyu, memberi fatwa, musyawarah, menyelesaikan persengketaan, melatih perang,
menawan tahanan, menerima tamu, pusat penerangan, dan santunan sosial. Kemudian
pada masa sahabat khulafaur rasyidin, fungsi masjid mengalami
perkembangan, yakni menjadi tempat pelantikan mereka yang terpilih jadi
khalifah. Bahkan ruangan depan masjid Nabawi dijadikan tempat untuk
menyelenggarakan administrasi negara.
Namun sayang pada masa dinasti Umayah, masjid dijadikan tempat
pertemuan politik. Di dalam masjid, para khatib berperan untuk mendukung politik pemerintah. Artinya pada
waktu itu fungsi masjid semakin melebar hingga gencar-gencarnya politik
praktis.
Selanjutnya pada masa Dinasti Abbasiah, fungsi masjid demikian
sebagaimana dilakukan pada masa Dinasti Umayah mulai ditinggalkan. Semua urusan
negara dilaksanakan di istana. Pada waktu itu fungsi masjid hanya sebagai
tempat pertemuan ilmiah sarjana dan ulama. Dan masjidil haram pun selain
pusat tempat ibadah, juga tempat kajian ilmu agama dalam beragam mazhab.
Hanya saja memakmurkan masjid adalah orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhir serta melaksanakan salat, mengeluarkan zakat dan tidak
takut kecuali kepada Allah. (Surah Al-Taubat: 18).
Ayat tersebut menurut Al-Qurtubi (dalam Al-Jami li Ahkamil Quran) sebagai dalil bahwa kesaksian bagi orang-orang yang memakmurkan masjid
dengan keimanan adalah kesaksian yang sungguh-sungguh. Karenanya tepat sekali
sebagian ulama salaf berkata: “Jika kalian melihat seseorang yang
memakmurkan masjid, maka berprasangka baiklah kalian kepadanya.” Selain itu
didukung pula oleh hadis Nabi yang menyatakan: “Jika kalian melihat
melihat seseorang yang terbiasa ke masjid, maka bersaksilah kalian kepadanya
dengan iman.” (HR. Tirmizi dari Abu Said al-Khudri).
Ayat di atas dijelaskan Wahbah Zuhaili (dalam Tafsir al-Wasit) sebagai respon tidak pantasnya perilaku orang-orang kafir ketika itu yang
memakmurkan masjidil haram dengan cara beribadah, melaksanakan haji dan
umrah, sedangkan diri mereka diliputi kekafiran. Kebiasaan mereka yang suka
menyembah berhala, dan tawaf di masjidil haram sambil telanjang. Karenanya yang
pantas memakmurkan masjid hanyalah orang-orang yang benar-benar memiliki
keimanan kepada Allah dengan benar. Mereka mengakui keberaadaan-Nya. Hanya
kepada-Nya beribadah dan bertawakal. Serta beriman kepada hari akhir,
mendirikan salat fardu, mengeluarkan zakat, dan takut kepada-Nya.
Selanjutnya Wahbah Zuhaili (dalam Tafsi Munir)
menjelaskan makna memakmurkan masjid (imaratul masjid) terbagi kepada
dua macam. Pertama, secara hissiah, seperti merehab, membangun,
dan membersihkannya. Kedua, secara maknawiah, seperti beribadah,
berzikir, dan menghadiri kajian keilmuan.
Dalam praktiknya kedua jenis makna memakmurkan masjid tersebut
merupakan hal yang tidak dipisahkan satu sama lain. Karenanya tidak cukup hanya
dengan membangunnya saja, tanpa rajin melaksanakan salat berjamaah dan
mengikuti kajian keilmuan di dalamnya. Begitu pun apabila masjid tersebut memerlukan
perbaikan, maka itupun perlu juga dilakukan. Termasuk masalah kebersihan pun
perlu diperhatikan juga. Sehingga merasa nyaman ketika seseorang berada di
masjid.
Selain itu bagi orang-orang yang beriman masjid juga dibangun atas
dasar ketakwaan (Surah Al-Taubat: 108). Itulah yang jadi sandaran ketika
Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah, bangunan yang pertama dirikan adalah masjid.
Ketika itu masjid Quba namanya. Hal ini
membuat iri orang-orang munafik kaum Bani Ghunm bin Auf dari suku Khazraj,
sehingga mereka berencana membuat masjid tandingan.Itulah yang disebut dengan
masjid Dirar.
Alquran sebagaimana dijelaskan Wahbah Zuhaili (dalam Tafsir
al-Wasit) memberikan alasan kenapa masjid tersebut disebut dengan
masjid Dirar. Pertama, karena orang-orang munafik mempunyai tujuan ingin
memudaratkan orang-orang mukmin yang telah duluan membangun masjid Quba. Kedua,
karena orang-orang munafik membangun masjid tersebut sebagai tempat berlindung
kekufuran dan kemunafikannya. Serta ingin menguasai kaum muslimin. Sehingga
masjid tersebut sebagai markas kebencian dan fitnah. Ketiga, karena
tujuan orang-orang munafik membangun masjid tersebut untuk memecah-belah persatuan
orang-orang beriman yang sudah diliputi oleh rasa kasih sayang di antara
mereka. Keempat, karena orang-orang munafik menjadikan masjid tersebut
sebagai tempat menghadang orang-orang mukmin dan sebagai tempat tinggal untuk
memerangi Allah dan Rasul-Nya. Hal ini disebabkan ketaatannya kepada Abu Amir,
seorang pendeta dari suku Khazraj yang pernah datang ke raja Heraklius untuk
memerangi Nabi dan para sahabatnya.
Sebab-sebab demikianlah, maka Allah melarang Rasulullah Saw. salat
di masjid tersebut. Dan memerintahkan agar salat di masjid Quba karena dua
alasan. Pertama, karena masjid tersebut dibangun atas dasar ketakwaan
dan mengharap keridaan-Nya, serta mempersatukan kaum muslimin. Kedua, karena
kemuliaan masjid Quba, sehingga di dalamnya terdapat orang-orang yang
mensucikan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Atau yang disebut dengan taharah
maknawiah. Begitu pun suci pakaian, badan, dan tempat tinggal. Atau yang
disebut dengan taharah hissiah. Dan mengingat bahaya masjid yang
dibangun kaum munafik tersebut, maka Rasulullah menyuruh para sahabat untuk
merobohkannya.
Kisah pendirian masjid Quba memberikan pelajaran kepada kita semua
bahwa masjid sebagai tempat khusus untuk membawa kita kepada jalan takwa, bukan
untuk ujaran kebencian dan permusuhan. Apalagi untuk memecah-belah persatuan
antar umat dan agama. Karenanya sangat tepat sekali MUI menerbitkan fatwa
tentang larangan politisasi agama yang di dalamnya terdapat point sebagaimana
disebutkan di atas secara implisit tentang larangan menjadikan sarana peribadahan
seperti masjid sebagai wahana penyampaian aspirasi partai politik tertentu.
Larangan ini secara implisit juga menjadi "ruh" yang mendorong kita benar-benar mengamalkan makna memakmurkan masjid secara sungguh-sungguh. Dan menjadikan masjid sebagai tempat untuk menumbuhkan rasa kasih-sayang dan perdamaian di antara sesama. Tentunya selain menempatkan fungsi masjid secara proporsional sebagaimana telah disebutkan di atas. Semoga bermanfaat. Amin.
Larangan ini secara implisit juga menjadi "ruh" yang mendorong kita benar-benar mengamalkan makna memakmurkan masjid secara sungguh-sungguh. Dan menjadikan masjid sebagai tempat untuk menumbuhkan rasa kasih-sayang dan perdamaian di antara sesama. Tentunya selain menempatkan fungsi masjid secara proporsional sebagaimana telah disebutkan di atas. Semoga bermanfaat. Amin.
Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:
Hidayat, Enang (2018, 14 Mei). Makna Memakmurkan Masjid [Entri blog]. Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2018/05/makna-memakmurkan-masjid.html
jangan larang anak kecil lari-lari di masjid. kecintaan bisa diawali dengan kesenangan
ReplyDelete