Makna Memakmurkan Masjid

Pembahasan ini merupakan kajian penulis pada hari Sabtu (malam Minggu, tanggal 12 Mei 2018) dalam acara syukuran beresnya renovasi masjid "Baitul Rahman" yang ada di kampung Pasirhayam Cianjur. Pembahasan ini tepat sekali, karena mengingat akhir-akhir ini lagi viral di media sosial sebagaimana kita saksikan tentang Kementerian Agama yang melarang pemuka agama menyampaikan pesan politik praktis dalam ceramahnya, apalagi dilakukan di rumah ibadah, seperti di masjid. Kemudian akhir-akhir ini juga MUI mengadakan Ijtimak ke-6 di Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada tanggal 7 sampai 9 Mei 2018 yang menghasilkan delapan point tentang pelarangan politisasi agama.

Salah satu foint yakni point keempat berbicara tentang tempat ibadah bukan hanya untuk kepentingan ritual keagamaan semata, seperti salat, melainkan untuk kepentingan pendidikan, dakwah Islam, politik keumatan seperti bagaimana cara memilih pemimpin sesuai ketentuan agama, ekonomi keumatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam point tersebut secara tegas dikatakan politik keumatan. Karenanya K.H. Ma'ruf Amin menegaskan agar tidak menjadikan masjid sebagai wahana penyampaian aspirasi partai politik tertentu, seperti terkait pilkada 2018 dan pilpres 2019 yang akan kita hadapi. Hal ini berfungsi menempatkan agama sebagai sumber inspirasi untuk membentuk perilaku politik yang beradab.

Istilah masjid berasal dari kata “sajada” yang berarti bersujud atau  menyembah. Dengan demikian kata masjid mengandung arti tempat bersujud. Dan fungsi masjid ini pada zaman Rasulullah Saw. memiliki dua fungsi, yakni fungsi ibadah, dan fungsi sosial. Artinya fungsi masjid tidak hanya sebatas melaksanakan ritual salat, melainkan juga untuk memperkuat ikatan jamaah Islam yang baru saja tumbuh. Karenanya ketika itu Rasulullah Saw. memanfaatkan masjid sebagai sarana untuk pendidikan, menjelaskan wahyu, memberi fatwa, musyawarah, menyelesaikan persengketaan, melatih perang, menawan tahanan, menerima tamu, pusat penerangan, dan santunan sosial. Kemudian pada masa sahabat khulafaur rasyidin, fungsi masjid mengalami perkembangan, yakni menjadi tempat pelantikan mereka yang terpilih jadi khalifah. Bahkan ruangan depan masjid Nabawi dijadikan tempat untuk menyelenggarakan administrasi negara.

Namun sayang pada masa dinasti Umayah, masjid dijadikan tempat pertemuan politik. Di dalam masjid, para khatib berperan untuk  mendukung politik pemerintah. Artinya pada waktu itu fungsi masjid semakin melebar hingga gencar-gencarnya politik praktis.  

Selanjutnya pada masa Dinasti Abbasiah, fungsi masjid demikian sebagaimana dilakukan pada masa Dinasti Umayah mulai ditinggalkan. Semua urusan negara dilaksanakan di istana. Pada waktu itu fungsi masjid hanya sebagai tempat pertemuan ilmiah sarjana dan ulama. Dan masjidil haram pun selain pusat tempat ibadah, juga tempat kajian ilmu agama dalam beragam mazhab.

Hanya saja memakmurkan masjid adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta melaksanakan salat, mengeluarkan zakat dan tidak takut kecuali kepada Allah. (Surah Al-Taubat: 18).

Ayat tersebut menurut Al-Qurtubi (dalam Al-Jami li Ahkamil Quran) sebagai dalil bahwa kesaksian bagi orang-orang yang memakmurkan masjid dengan keimanan adalah kesaksian yang sungguh-sungguh. Karenanya tepat sekali sebagian ulama salaf berkata: “Jika kalian melihat seseorang yang memakmurkan masjid, maka berprasangka baiklah kalian kepadanya.” Selain itu didukung pula oleh  hadis  Nabi yang menyatakan: “Jika kalian melihat melihat seseorang yang terbiasa ke masjid, maka bersaksilah kalian kepadanya dengan iman.” (HR. Tirmizi dari Abu Said al-Khudri).

Ayat di atas dijelaskan Wahbah Zuhaili (dalam Tafsir al-Wasit) sebagai respon tidak pantasnya perilaku orang-orang kafir ketika itu yang memakmurkan masjidil haram dengan cara beribadah, melaksanakan haji dan umrah, sedangkan diri mereka diliputi kekafiran. Kebiasaan mereka yang suka menyembah berhala, dan tawaf di masjidil haram sambil telanjang. Karenanya yang pantas memakmurkan masjid hanyalah orang-orang yang benar-benar memiliki keimanan kepada Allah dengan benar. Mereka mengakui keberaadaan-Nya. Hanya kepada-Nya beribadah dan bertawakal. Serta beriman kepada hari akhir, mendirikan salat fardu, mengeluarkan zakat, dan takut kepada-Nya.

Selanjutnya Wahbah Zuhaili (dalam Tafsi Munir) menjelaskan makna memakmurkan masjid (imaratul masjid) terbagi kepada dua macam. Pertama, secara hissiah, seperti merehab, membangun, dan membersihkannya. Kedua, secara maknawiah, seperti beribadah, berzikir, dan menghadiri kajian keilmuan.

Dalam praktiknya kedua jenis makna memakmurkan masjid tersebut merupakan hal yang tidak dipisahkan satu sama lain. Karenanya tidak cukup hanya dengan membangunnya saja, tanpa rajin melaksanakan salat berjamaah dan mengikuti kajian keilmuan di dalamnya. Begitu pun apabila masjid tersebut memerlukan perbaikan, maka itupun perlu juga dilakukan. Termasuk masalah kebersihan pun perlu diperhatikan juga. Sehingga merasa nyaman ketika seseorang berada di masjid.

Selain itu bagi orang-orang yang beriman masjid juga dibangun atas dasar ketakwaan (Surah Al-Taubat: 108). Itulah yang jadi sandaran ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah, bangunan yang pertama dirikan adalah masjid. Ketika itu masjid Quba namanya.  Hal ini membuat iri orang-orang munafik kaum Bani Ghunm bin Auf dari suku Khazraj, sehingga mereka berencana membuat masjid tandingan.Itulah yang disebut dengan masjid Dirar.

Alquran sebagaimana dijelaskan Wahbah Zuhaili (dalam Tafsir al-Wasit) memberikan alasan kenapa masjid tersebut disebut dengan masjid Dirar. Pertama, karena orang-orang munafik mempunyai tujuan ingin memudaratkan orang-orang mukmin yang telah duluan membangun masjid Quba. Kedua, karena orang-orang munafik membangun masjid tersebut sebagai tempat berlindung kekufuran dan kemunafikannya. Serta ingin menguasai kaum muslimin. Sehingga masjid tersebut sebagai markas kebencian dan fitnah. Ketiga, karena tujuan orang-orang munafik membangun masjid tersebut untuk memecah-belah persatuan orang-orang beriman yang sudah diliputi oleh rasa kasih sayang di antara mereka. Keempat, karena orang-orang munafik menjadikan masjid tersebut sebagai tempat menghadang orang-orang mukmin dan sebagai tempat tinggal untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya. Hal ini disebabkan ketaatannya kepada Abu Amir, seorang pendeta dari suku Khazraj yang pernah datang ke raja Heraklius untuk memerangi Nabi dan para sahabatnya.

Sebab-sebab demikianlah, maka Allah melarang Rasulullah Saw. salat di masjid tersebut. Dan memerintahkan agar salat di masjid Quba karena dua alasan. Pertama, karena masjid tersebut dibangun atas dasar ketakwaan dan mengharap keridaan-Nya, serta mempersatukan kaum muslimin. Kedua, karena kemuliaan masjid Quba, sehingga di dalamnya terdapat orang-orang yang mensucikan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Atau yang disebut dengan taharah maknawiah. Begitu pun suci pakaian, badan, dan tempat tinggal. Atau yang disebut dengan taharah hissiah. Dan mengingat bahaya masjid yang dibangun kaum munafik tersebut, maka Rasulullah menyuruh para sahabat untuk merobohkannya.

Kisah pendirian masjid Quba memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa masjid sebagai tempat khusus untuk membawa kita kepada jalan takwa, bukan untuk ujaran kebencian dan permusuhan. Apalagi untuk memecah-belah persatuan antar umat dan agama. Karenanya sangat tepat sekali MUI menerbitkan fatwa tentang larangan politisasi agama yang di dalamnya terdapat point sebagaimana disebutkan di atas secara implisit tentang larangan menjadikan sarana peribadahan seperti masjid sebagai wahana penyampaian aspirasi partai politik tertentu.  

Larangan ini secara implisit juga menjadi "ruh" yang mendorong kita benar-benar mengamalkan makna memakmurkan masjid secara sungguh-sungguh. Dan menjadikan masjid sebagai tempat untuk menumbuhkan rasa kasih-sayang dan perdamaian di antara sesama. Tentunya selain menempatkan fungsi masjid secara proporsional sebagaimana telah disebutkan di atas.  Semoga bermanfaat. Amin.

Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:

Hidayat, Enang (2018, 14 Mei). Makna Memakmurkan Masjid [Entri blog].  Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2018/05/makna-memakmurkan-masjid.html


Comments

  1. jangan larang anak kecil lari-lari di masjid. kecintaan bisa diawali dengan kesenangan

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah