Keutamaan Bulan Syawal



Dalam suasana Idul Fitri, kita dapat dua keutamaan. Pertama, kita kembali kepada suasana kegembiraan, karena berkumpulnya sanak saudara dan kerabat untuk saling memaafkan atas kesalahan. Dan sambil mengatakan: Taqabbalallâhu Minnâ wa Minkum. Dan dijawab pula oleh yang lainnya dalam kalimat yang sama. Ada juga yang mudik ke kampung asalnya yang dilakukannya setiap setahun sekali. Ada juga yang berziarah ke pemakaman tempat sanak saudara atau kerabatnya. Dan banyak lagi momen Idul Fitri ini dimanfaatkan dengan baik. Kedua, kita kembali kepada fitrah. Fitrah dimaksud adalah kesucian yakni pembawaan dari penciptaan anak yang dilahirkan dari rahim ibunya (Qamus al-Muhit). Hal ini dijelaskan secara eksplisit dalam hadis Rasulullah: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Tergantung dari kedua orang tuanya apakah mau dijadikannnya Yahudi atau Nasrani” (HR. Abu Daud, Tirmizi, dan Ahmad dari Abu Hurairah) (Tafsir al-Wasit).

Kendatipun ada pendapat lain menyatakan fitrah di sini maksudnya adalah agama, yakni setiap manusia diciptakan di atas tauhid dan mengikrarkan keberadaan Allah. Akan tetapi terdapat sesuatu yang merintangi dari sunah fitrah (Tafsir al-Wasit). Barangkali salah didikan dari kedua orang tuanya termasuk hal yang merintanginya sebagaimana dipahami secara implisit dari hadis tersebut.

Namun fitrah dimaksud apabila dihubungkan dengan keutamaan orang yang melaksanakan puasa Ramadan dan menghidupkan malamnya, maka jelas fitrah jenis pertama (kesucian). Karena hal ini ditegaskan oleh hadis Rasulullah: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan puasa Ramadan kepadamu dan menganjurkan menghidupkan malamnya. Maka, siapa saja yang melaksanakan semua itu dibarengi iman dan karena-Nya, maka ia terbebas dari dosanya seperti bayi yang baru saja dilahirkan dari rahim ibunya.” (HR. Nasai dari Abdurrahman bin Auf).

Hadis tersebut menunjukkan kesucian atau terbebasnya dosa orang yang sudah melaksanakan kewajiban puasa Ramadan dan melengkapinya dengan menghidupkan malamnya, seperti dengan salat Tarawih dan ibadah lainnya. Kesuciaannya sama halnya dengan anak yang baru dilahirkan ibunya, tidak punya dosa apa-apa (Syarah Sunan Nasai).  

Selanjutnya apa arti Syawal dan apa keutamaannya? Syawal (شوال) jamaknya شوالات وشواويل (syawwâlâtun wa syawâwîlu). Kata dasarnya berasal dari kata syawala ( (شول yang berarti naik (إرتفاع). Orang-orang Arab menamakan bulan tersebut dengan Syawal, karena ketika itu bertepatan dengan seekor unta betina yang menaikkan ekornya ketika sedang bunting (Al-Munjid; Mujam Maqayis al-Lugah). Menurut pendapat lain seekor unta jantan menaikkan tangannya seperti ia sedang meminta sesuatu (al-Misbah al-Munir). 

Syawal juga disebut dengan bulan fitri, yakni bulan yang mengiringi bulan Ramadan. Dan disebut pula dengan awal bulan haji (Taj al-Arus; al-Sihah Taj al-Lugah). Dari arti Syawal tersebut kita dapat memahami sepantasnya di bulan Syawal ini kita lebih meningkatkan lagi amal ibadah berhubung telah melaksanakan puasa Ramadan. Dan menjadikan Ramadan sebagai madrasah budi pekerti (madrasah khuluqiah) dalam kehidupan sehari-hari.  

Terdapat kebiasaan orang Arab melarang seseorang menikah di bulan Syawal ketika seekor unta betina sedang bunting dan menaikkan ekornya. Alasan larangan tersebut karena mereka mempunyai ramalan buruk apabila pernikahan itu terjadi. Mungkin saja di sini tidak bahagia pernikahannya, atau yang lainnya. Akan tetapi larangan tersebut oleh Rasulullah Saw dibatalkannya. Untuk membuktikan hal tersebut Rasulullah sendiri menikahi Aisyah pada bulan Syawal (Taj al-Arus; Lisan al-Arab).

Kemudian keutamaan Syawal adalah berkaitan dengan puasa. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah Saw: “Siapa saja yang berpuasa Ramadan, kemudian diikutinya dengan berpuasa selama enam hari di bulan Syawal, maka pahalanya sama seperti ia berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim dari Abu Ayub al-Ansari).

Para ulama berpendapat mempraktikkan puasa Syawal tersebut terbagi ke dalam tiga cara. Pertama, boleh dilakukan secara terus-menerus dari mulai tanggal 2 hingga 7 Syawal. Hal ini berdasarkan pada hadis: “Siapa saja berpuasa enam hari setelah Hari Raya Idul Fitri secara terus-menerus, maka pahalanya sama seperti puasa selama setahun penuh.” (HR. Tabrani dari Ibnu Abbas) (Al-Mujam al-Ausat). Kedua, boleh dilakukan tidak berurutan, asalkan masih di bulan Syawal. Ketiga, boleh dilakukan puasa tiga hari sebelum tanggal 13,14, dan 15 Syawal atau sesudahnya. Namun mayoritas ulama (terutama Syafiiah) berpegang pada cara pertama mengenai keutamaannya. Karena hal ini telah dipraktikkan oleh para sahabat dan tabiin.(Lataif al-Maarif).

Ibnu Rajab menjelaskan terdapat lima faidah jika kita membiasakan diri berpuasa selama enam hari di bulan Syawal. Berikut penjelasannya.

Pertama, memperoleh pahala sama dengan puasa selama setahun penuh sebagaimana telah disebutkan dalam hadis di atas. Kedua, puasa Syawal derajatnya sama seperti salat sunat Rawatib. Dan fungsi salat Rawatib dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat fardu. Begitu pun puasa Syawal dapat menutupi kekurangan yang ada pada puasa fardu Ramadan. Ketiga, sebuah indikator diterimanya puasa Ramadan oleh Allah. Karena sesungguhnya jika Allah menerima amal hamba-Nya, maka Ia membimbingnya untuk beramal saleh setelahnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh sebagian ulama: “Pahala melakukan kebaikan itu adalah adanya kebaikan setelahnya. Maka siapa saja yang beramal kebaikan, kemudian diikuti setelahnya dengan kebaikan lagi, maka kebaikan itu adalah tanda diterimanya kebaikan pertama.” Keempat, sebagai tanda syukur atas nikmat yang telah diberikan Allah berupa ampunan dosa sebagai balasan berpuasa. Kelima, menunjukkan cintanya terhadap puasa sehingga tidak merasa jemu untuk melakukan puasa lagi. 

Semoga kita mampu mengamalkan puasa Syawal ini yang memiliki keutamaan sungguh luar biasa guna meningkatkan amal ibadah setelah puasa Ramadan. Amin.

Referensi:
Al-Fairuzabadi, Al-Qamus al-Muhit; Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Wasit; Abdurrahman al-Nasai, Sunan al-Nasai; Luis Makluf, al-Munjid; Ibnu Faris, Mujamu Maqayis al-Lugah; Al-Fayumi, al-Misbah al-Munir; Al-Zubaidi, Taj al-Arus; Al-Jauhari, al-Sihah Taj al-Lugah; Ibnu Rajab, Lataif al-Maarif; Al-Tabrani, al-Mujam al-Ausat.

Comments

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah