Anak adalah Fitrah
Tanggal 23 Juli 2018, bangsa kita tercinta ini memperingati Hari
Anak Nasional. Dalam kesempatan tersebut, Bapak Presiden kita, Joko Widodo sengaja
mengundang anak-anak untuk bermain dan bernyanyi di Istana Negara. Beliau
ditemani isteri tercintanya, Ibu Iriana, kelihatannya sungguh gembira menyambut
anak-anak tersebut.
Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa. Generasi penerus
kita di masa yang akan datang. Aset yang harus kita pelihara, kita didik, dan
kita perhatikan masa depannya. Jika tidak oleh kita, sebagai orang tuanya, lalu
oleh siapa lagi.
Anak menjadi permata dalam keluarga. Semua keluarga tentunya mengharapkan
punya anak. Karena untuk menjadi penerus orang tuanya di masa yang akan datang.
Penerus perjuangan orang tuanya. Penerus kelestarian agamanya. Tentunya yang
kita harapkan adalah anak yang saleh, berbakti pada kedua orang tuanya, menghormati
gurunya, dan berbuat baik pada sesamanya. Tak ketinggalan bermanfaat bagi
agama, nusa dan bangsa.
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Tergantung orang
tuanya, apakah mau menjadikannya Yahudi dan Nasrani (HR. Abu Daud dan Malik
dari Abu Hurairah). Dalam riwayat lain ditambah dengan redaksi: Atau
menjadikannya musyrik (HR. Tirmizi). Atau menjadikannya Majusi (HR. Ahmad). Hadis
tersebut sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana maksud hadis
tersebut?
Hadis tersebut secara implisit mengisyaratkan bahwa kedua orang tua
memiliki tanggung jawab terhadap masa depan kehidupan anaknya, terutama pendidikannya,
terlebih pendidikan ketauhidannya untuk bekal di masa depannya. Sehingga ia
bisa mengenal siapa Tuhan-Nya. Selain itu bisa berbakti kepada kedua orang
tuanya serta berbuat baik pada sesamanya. Oleh karena itu salah dalam mendidik
dan mengarahkannya, bisa mencelakan kedua orang tuanya juga, baik di dunia
maupun kelak nanti di akhirat.
Abi Abdul Rahman Abari dan Al-Mubarakfuri menjelaskan makna fitrah dalam hadis di atas menurut mayoritas ulama bermakna Islam. Abi Walid
al-Baji menyebutkan fitrah menurut perkataan orang Arab berarti
naluri atau pembawaan (al-khilqah).
Luis Makluf menyebutkan fitrah adalah sifat yang terdapat
pada setiap awal penciptaan. Atau sifat pembawaan yang ada pada manusia. Atau
bisa juga bermakna agama. Al-Fairuzabadi dan ulama fikih sebagaimana
dikutif Al-Qurtubi menyebutkan fitrah adalah pembawaan penciptaan
anak yang dilahirkan dari rahim ibunya dalam mengenal Tuhannya.
Wahbah Zuhaili menyebutkan fitrah adalah pembawaan dan
keadaan yang ada dalam jiwa anak kecil. Sehingga ia bisa membedakan perbuatan
Allah dan mengetahui syariat-Nya serta beriman kepada-Nya.
Dalam Alquran disinggung bahwa Allah telah menciptakan manusia menurut
fitrah. Tidak ada perubahan pada fitrah-Nya. Itulah agama yang lurus. Akan
tetapi tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Surah Ar-Rum: 30)
Wahbah Zuhaili menjelaskan ayat tersebut berkenaan dengan
setiap manusia diciptakan di atas tauhid dan mengikrarkan ketauhidan. Akan
tetapi terdapat sesuatu yang menghalanginya dari sunah fitrah. Menurut penulis
salah dalam mendidik dan mengarahkan anak termasuk sesuatu yang dapat menghalangi
fitrah tersebut.
Dari beberapa pengertian tentang fitrah dapat dipahami bahwa didikan
kedua orang tua terhadap anak dapat memengaruhi pola pikirnya dalam kehidupan
sehari-hari. Dan kedua orang tuanya bertanggung jawab dalam memelihara dan
mengarahkan fitrah yang ada dalam diri anak tersebut. Oleh karena itu penanaman
dasar-dasar ketauhidan sejak dini sangat diperlukan sebelum mengenal yang
lainnya. Hal ini untuk mengarahkan anak agar dapat mengenal Allah, Malaikat-Nya,
Rasul-Nya, Kitab-Nya, memercayai Hari Akhir, Kada dan Kadar-Nya. Inilah yang kita
kenal dengan sebutan Rukun Iman. Semoga bermanfaat. Amin.
Referensi: Abi Abdul Rahman Abari, Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daudi; Al-Mubarakfuri,
Tuhfatul Ahwazi Syarh Sunan Tirmizi; Abi Walid al-Baji, Al-Muntaqa Syarh
al-Muwatta Malik; Luis Makluf, Al-Munjid; Al-Fairuzabadi, Qamus
al-Muhit; Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkamil Quran; Wahbah Zuhaili,
Tafsir al-Wasit.
Comments
Post a Comment