Keagungan Kalimat Tauhid

Tauhid diartikan dengan beriman kepada Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dengan demikian dapat dipahami seseorang yang mengaku bertauhid berarti dalam kehidupan sehari-harinya, ia hanya kepada Allah menyembah, memohon pertolongan, dan berserah diri. Sedangkan yang dimaksud dengan kalimat tauhid tersebut adalah kalimat “Lâ Ilâha Illallâh.” Atau kalimat tersebut dikenal juga dengan kalimat baik (kalimat tayyibah) sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas ketika menafsirkan Surah Ibrahim: 24.

Inilah kenapa Allah disebut Al-Ahad sebagaimana disebutkan dalam Asmaul Husna? Karena hanya Dia satu-satunya Tuhan yang disembah, yang dimintai pertolongan, dan berserah diri kepada-Nya. Oleh karena itu jika seseorang mengaku beriman kepada-Nya, tetapi dalam kehidupan sehari-harinya ia menyembah selain-Nya, maka ia dinamakan musyrik atau orang yang telah menyekutukan-Nya.

Keagungan kalimat tauhid ini dijelaskan pula dalam firman-Nya, seperti dalam Surah Ali Imran: 18. Ayat tersebut berkaitan dengan kesaksian keberadaan Allah dan keesaan-Nya. Bahkan, Allah sendiri yang menegakkan keadilan sebagaimana ditegaskan dalam ayat tersebut bersaksi, kemudian diikuti para malaikat dan orang-orang yang berilmu. Tidak hanya itu saja, seluruh alam semesta pun ikut pula bersaksi demikian.

Sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut sebagaimana diriwayatkan al-Kalbi adalah ketika Rasulullah tiba di Madinah, tiba-tiba datang kepadanya dua orang pendeta yang berasal dari penduduk Syam. Tatkala mereka berdua melihat kota Madinah, salah seorang di antara mereka berkata kepada temannya: “Sungguh kota ini serupa dengan sifat kota Nabi yang akan keluar nanti di akhir zaman.” Kemudian mereka datang menghadap Rasulullah seraya menjelaskan sifat kota tersebut dan berkata: ‘Engkau Muhammad’? Nabi menjawab: ‘Ya’. Kemudian berkata lagi: ‘Engkau Ahmad’? Nabi menjawab: ‘Ya’. Lalu mereka berkata lagi: ‘Kami bertanya kepadamu tentang kesaksian (syahadat), jika engkau memberitahu kami, maka kami akan beriman kepadamu.’ Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut kepada Rasulullah. Maka, kedua pendeta tersebut masuk Islam dan membenarkan kerasulan Muhammad.” (Wahbah Zuhaili).

Secara tersirat kesaksian (syahadat) yang ditanyakan dua pendeta dalam hadis di atas maksudnya dua kalimat syahadat yakni berasaksi bahwa tiada Tuhan yang hak disembah selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah. Dua kalimat inilah yang harus diungkapkan oleh orang yang akan masuk Islam.

Selain ayat di atas, terdapat hadis yang menjelaskan keagungan kalimat tauhid. Di antaranya hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Umar yang menceritakan suatu ketika Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Nabi Nuh tatkala menjelang kematiannya, beliau berkata kepada anaknya: ‘Sesungguhnya aku mewasiatkan kepadamu dua hal dan melarang pula dua hal. Aku menyuruhmu dengan kalimat ‘Lâ IIâha Illallâh’. Sesungguhnya tujuh lapis langit dan bumi jika diletakkan dalam satu timbangan daun dan kalimat ‘Lâ Ilâha Illallâh’ diletakkan pada daun timbangan lainnya, niscaya lebih berat kalimat ‘Lâ Ilâha Illallâh’. Kemudian jika tujuh lapis langit dan bumi merupakan sebuah lingkaran yang samar, niscaya akan dipecahkan oleh kalimat  ‘Lâ Ilâha Illallâh’ dan ‘Subhanallâh’. Kalimat tersebut inti dari semua ibadah. Dengannya, semua makhluk diberikan rezeki. Oleh karena itu, aku melarangmu dari perbuatan syirik dan takabur.” (HR. Ahmad).

Hadis tersebut menurut Al-Tuwaijiri berbicara mengenai keagungan timbangan, kekuatan dan sangat berharganya kalimat tauhid. Sehingga jika dibandingkan dengan timbangan tujuh lapis langit dan bumi, niscaya lebih berat timbangan kalimat tauhid. Lalu jika kalimat tauhid tersebut bersemayam dalam hati seorang mukmin, bagaimana timbangannya menurut Allah? Bagaimana derajatnya menurut Allah? Bagaimana surganya di hari kiamat?

Dengan memerhatikan keagungan kalimat tauhid tersebut, kita bisa menyimpulkan tidak selayaknya kita selaku orang yang beriman merendahkannya. Berikut ini penulis kemukakan pula pendapat para ulama yang berkaitan dengan keagungannya.  

Syamsudin al-Ramli menjelaskan tulisan yang di dalamnya ada nama Allah dan nama Rasul-Nya hukumnya haram direndahkannya atau dihinakannya. Hal yang sama hukumnya jika seseorang berjalan di atas karpet atau kayu yang di dalamnya terdapat tulisan atau ukiran ayat Alquran atau nama Allah. Secara tersirat kalimat “Lâ Ilâha Illallâh Muhammadun Rasulûlulâh” termasuk juga dari penjelasan Syamsudin al-Ramli tersebut.

Imam Nawawi menambahkan hukumnya makruh membakar tulisan yang di dalamnya terdapat ayat Alquran. Namun Abdul Hamid al-Syarwani dan Ibnu Hajar al-Haitami memperjelas jika dengan membakarnya itu bertujuan agar terhindar dari kehinaan, seperti khawatir terinjak-injak atau terkena najis, dan yang lainnya, maka hukumnya berubah menjadi wajib.

Dari keterangan Imam Nawawi tersebut dipahami kalimat “Lâ Ilâha Illallâh Muhammadun Rasulûlulâh” juga termasuk ke dalam ayat Alquran, karena kalimat tersebut tercantum di dalamnya sebagaimana contohnya dijelaskan dalam Surah Ali Imran: 18 di atas. Kemudian contoh ayat yang menyebutkan kalimat “Muhammadun Rasulullah” seperti terdapat dalam Surah Alfath: 29.

Hal inilah yang dilakukan Usman bin Affan ketika beliau memerintah Zaid bin Sabit untuk menuliskan mushaf, kemudian membagikannya ke daerah Syam, Mesir, Basrah, Kufah, Mekkah, Yaman, dan Madinah. Sehingga yang berlaku ketika itu hanya Mushaf Usman. Selain itu juga beliau mewajibkan agar bacaan yang ada dalam mushaf tersebut yang dipakai. Selanjutnya Usman memerintahkan mushaf-mushaf yang lainnya agar dikumpulkan, kemudian dibakar (Muhammad Husain Haekal).Tindakan Usman tersebut jelas bertujuan menghindarkan ketidakseragaman dalam bacaan mushaf. Hal ini sejalan dengan kaidah fikih yang dikemukakan Al-Suyuti: "Menghindarkan kerusakan harus diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan" (Dar'u al-Mafasid Aula Min Jalb al-Masalih).  

Syamsudin al-Ramli lebih tegas lagi hukumnya haram membakar tulisan tersebut apabila sengaja mempermainkannya atau menghinakannya. Bahkan orang yang melakukannya telah melakukan perbuatan kufur.

Semoga kalimat tauhid tersebut meresap ke dalam jiwa kita dan bisa mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari serta terhindar dari upaya menghinakannya. Dan ketika kita meninggal pun sebagaimana dijelaskan salah satu hadis yang diriwayatkan Ahmad dari Muaz bin Jabal termasuk orang yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan-Nya. Serta membenarkannya pula dalam hati. Sehingga kita masuk surga sebagaimana dijanjikan Rasulullah dalam hadis tersebut. Amin.

Referensi:

Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Wasit 1; Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal 3, 9; Al-Tuwaijiri, Mausuah Fiqh al-Qulub;  Syamsudin al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj 1; Imam Nawawi, Raudah al-Talibin wa Umdat al-Muftin 1; Abdul Hamid al-Syarwani dan Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj 1; Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan.


Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:

Hidayat, Enang (2018, 01 Nopember). Keagungan Kalimat Tauhid  [Entri blog].  Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2018/11/keagungan-kalimat-tauhid.html

Comments

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah