Korona Selamat Jalan Romadona Selamat Datang
Gambar dikutif dari: www.radarbogor.id |
Pemberlakuan larangan mendatangi suatu wilayah yang penduduknya
terkena wabah penyakit agar tidak menular pernah diinstruksikan oleh Rasulullah
jauh-jauh hari pada waktu terjadinya wabah penyakit Taun di Syam agar tidak menyebar ke wilayah lain. Instruksi ini didengar oleh
sahabat Abdul Rahman bin Auf (sebagaimana hadisnya akan dijelaskan di bawah) kemudian
disampaikan ke Umar bin Khattab ketika akan melakukan perjalanan ke Syam yang
sedang terjadi wabah penyakit Taun di dalamnya.
Taun sebuah wabah penyakit yang menimpa masyarakat dan dapat
mengakibatkan rusaknya badan. Bahkan dapat menyebabkan kematian. Disebut Taun
karena keumuman penyakit tersebut menyerang masyarakat dan dapat mempercepat
kematian. Misalnya menimpa kaum kaum Bani Israil. Demikian dikemukakan Abu
Bakar bin Arabi sebagaimana dikutif Ibnu Hajar Asqalani. Hal ini sebagaimana
telah dijelaskan dalam hadis riwayat Saad bin Abi Waqas ketika ketika ia menanyakan
tentang Taun kepada Usamah bin Zaid yang telah didengarnya dari Rasulullah. Rasulullah
berkata: “Taun adalah kotoran atau siksaan yang telah menimpa kaum Bani Israil
atau umat sebelum kalian. Jika kalian mendengar di suatu wilayah terdapat wabah
penyakit Taun, maka janganlah kalian mendatangi wilayah tersebut. Sedangkan
jika kalian berada di wilayah yang terkena wabah penyakit tersebut, maka
janganlah kalian keluar dari wilayah tersebut” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis tersebut berkenaan dengan kisah Umar bin Khattab suatu ketika
akan berangkat ke wilayah Syam. Kejadian tersebut pada bulan Rabiul Akhir tahun
kedua belas Hijriah. Tatkala sampai di sebuah daerah yang bernama Syarga, ia
mendengar kabar dari Abdul Rahman bin Auf bahwa di sana sedang ada wabah
penyakit Taun yang disebut dengan Taun Amawas. Menurut riwayat Ibnu Abbas,
beliau (Umar) bertemu dengan Abu Ubadah bin Jarrah (panglima perang) dan para
sahabatnya. Ketika itu juga Umar mengajak kaum Muhajirin untuk bermusyawarah
dalam menyikapi hal demikian. Orang-orang Muhajirin berselisih pendapat dalam
menyikapinya. Di antara mereka ada yang berpendapat lebih baik diteruskan
perjalanan ini. Sebagian lagi berpendapat lebih baik tidak diteruskan, dan mereka ingin bersama Umar.
Kemudian Umar menghubungi kaum Ansar sebagaimana halnya kepada kaum Muhajirin untuk memusyawarahkan hal yang serupa. Kaum Ansar pun sama pendapatnya terbagi kepada dua kelompok sebagaimana pendapat kaum Muhajirin. Selanjutnya Umar memanggil para pemimpin kaum Kuraisy untuk membicarakan hal yang seperti sebelumnya. Akan tetapi mereka sepakat untuk tidak melanjutkan perjalanan tersebut dalam keadaan demikian. Lalu Abu Ubaidah bin Jarrah berkata kepada Umar: “Apakah kita akan lari dari takdir Allah”? Umar menjawab: “Ya, kita lari dari takdir Allah menuju takdir-Nya yang lainnya.” Kemudian datanglah Abdul Rahman bin Auf seraya berkata: “Dalam hal ini saya mempunyai ilmu yang didengar dari Rasulullah sebagaimana hadisnya telah disebutkan di atas.
Kemudian Umar menghubungi kaum Ansar sebagaimana halnya kepada kaum Muhajirin untuk memusyawarahkan hal yang serupa. Kaum Ansar pun sama pendapatnya terbagi kepada dua kelompok sebagaimana pendapat kaum Muhajirin. Selanjutnya Umar memanggil para pemimpin kaum Kuraisy untuk membicarakan hal yang seperti sebelumnya. Akan tetapi mereka sepakat untuk tidak melanjutkan perjalanan tersebut dalam keadaan demikian. Lalu Abu Ubaidah bin Jarrah berkata kepada Umar: “Apakah kita akan lari dari takdir Allah”? Umar menjawab: “Ya, kita lari dari takdir Allah menuju takdir-Nya yang lainnya.” Kemudian datanglah Abdul Rahman bin Auf seraya berkata: “Dalam hal ini saya mempunyai ilmu yang didengar dari Rasulullah sebagaimana hadisnya telah disebutkan di atas.
Dari hadis di atas kita dapat disimpulkan sebagai langkah preventif
Umar memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanannya ke Syam. Hal ini setelah
mendengar ucapan Rasulullah yang terdengar oleh Abdul Rahman bin Auf. Keputusannya demikian sejalan dengan kaidah fikih yang menyatakan: “Menghindarkan kerusakan harus
didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan.” Kemudian dalam ilmu usul
fikih dikenal dengan konsep sadduz zariah, yakni menutup jalan agar
terhindar dari kerusakan.
Peristiwa wabah penyakit Taun juga terjadi pada masa sebelumnya, yaitu pada masa Bani Israil, terdapat kisah tentang
Bal’am bin Baura. Ia dekat dengan Nabi Musa dan ia seorang yang terkenal doanya
mustajab. Bahkan ia termasuk ulama dari kaum Bani Isarail. Saking dipercaya oleh Nabi Musa, ia dipercaya mengembang misi untuk
pergi ke kota Madyan. Penduduk kota tersebut sedang berada dalam kemaksiatan,
menyembah berhala dan melakukan penyimpangan lainnya. Bal’am disuruh oleh Nabi
Musa agar menyampaikan kabar kepada penguasa Madyan bahwa ia dan rombongan akan
barangkat ke sana. Ketika Bal’am sampai di Madyan, ia terkesima melihat
keindahan istana Madyan.
Rupanya penguasa Madyan mengetahui apa yang dirasakan Bal’am tersebut. Sehingga akhirnya ia menawarkan kepada Bal’am berupa harta, tahta, wanita, dan dirayu agar mau ikut bersama penguasa dan meninggalkan Nabi Musa. Dan akhirnya Bal’am menerima tawaran tersebut. Ia diminta oleh penguasa Madyan agar mengusir dan menghalangi Nabi Musa dan rombongan yang berencana akan masuk ke Madyan. Penguasa berkeyakinan bahwa Nabi Musa dan rombongan akan memporakporandakan Madyan. Karena Bal’am berkeyakinan pemilik doa yang mustajab, maka ia pun berdoa agar Nabi Musa dan rombongan membatalkan niat akan ke Madyan. Setelah bangun dari tidurnya, Allah mewahyukan semenjak ia mendapat tawaran dari penguasa Madyan, doanya sudah tidak terkabulkan lagi. Dan jika tidak bersama lagi ke barisan Nabi Musa, maka ia akan menjadi manusia terlaknat. Namun bukannya ia insaf dan menyadari kekeliruannya, malahan ia semakin membabi-buta bertingkah di hadapan penduduk Madyan seraya berkhotah meyakinkan bahwa kedatangan Nabi Musa dan rombongan tidak perlu dikhawatirkan. Mereka akan disambut dengan kemewahan dan keindahan kota Madyan serta wanita-wanita yang cantik. Karena ia mengetahui karakter orang-orang yang bersama Nabi Musa sangat memuja kesenangan dan kenikmatan.
Rupanya penguasa Madyan mengetahui apa yang dirasakan Bal’am tersebut. Sehingga akhirnya ia menawarkan kepada Bal’am berupa harta, tahta, wanita, dan dirayu agar mau ikut bersama penguasa dan meninggalkan Nabi Musa. Dan akhirnya Bal’am menerima tawaran tersebut. Ia diminta oleh penguasa Madyan agar mengusir dan menghalangi Nabi Musa dan rombongan yang berencana akan masuk ke Madyan. Penguasa berkeyakinan bahwa Nabi Musa dan rombongan akan memporakporandakan Madyan. Karena Bal’am berkeyakinan pemilik doa yang mustajab, maka ia pun berdoa agar Nabi Musa dan rombongan membatalkan niat akan ke Madyan. Setelah bangun dari tidurnya, Allah mewahyukan semenjak ia mendapat tawaran dari penguasa Madyan, doanya sudah tidak terkabulkan lagi. Dan jika tidak bersama lagi ke barisan Nabi Musa, maka ia akan menjadi manusia terlaknat. Namun bukannya ia insaf dan menyadari kekeliruannya, malahan ia semakin membabi-buta bertingkah di hadapan penduduk Madyan seraya berkhotah meyakinkan bahwa kedatangan Nabi Musa dan rombongan tidak perlu dikhawatirkan. Mereka akan disambut dengan kemewahan dan keindahan kota Madyan serta wanita-wanita yang cantik. Karena ia mengetahui karakter orang-orang yang bersama Nabi Musa sangat memuja kesenangan dan kenikmatan.
Sesampainya di Madyan, rombongan Nabi Musa
banyak yang terpikat oleh keindahan Madyan termasuk oleh wanita cantik.
Sehingga rombongan banyak yang berpaling dari Nabi Musa. Dan seruan Nabi Musa pun sudah
tidak dianggap lagi. Dan penduduk Madyan semakin merajela kemaksiatan. Sehingga
akhirnya Allah menurunkan penyakit Taun kepada penduduk Madyan. Banyak penduduk
yang wafat karena Taun ini. Namun sendikit yang kembali menjadi pengikut Nabi
Musa. Dalam Alquran kisah Bal'am ini diumpamakan seperti anjing yang
menggonggong sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-A’raf: 175-177, karena
membohongkan ayat Allah dan sombong tidak mempan nasihat padahal sudah diperingatkan oleh Allah. Oleh karena
itu ia termasuk ke dalam orang yang sesat.
Menurut riwayat sebagaimana dijelaskan Iyad dalam kutifan
Ibnu Hajar Asqalani disebutkan Allah mengirimkan wabah penyakit Taun kepada
kaum Bani Israil sehingga dapat menewaskan 70 ribu orang dalam sehari. Begitu
pun tatkala masa Nabi Daud, Allah juga mengutusnya ke kaum Bani Israil. Saat itu
juga mereka banyak melakukan maksiat. Sehingga Allah menyuruh kaum Bani Israil
agar memilih tiga hal, yakni apakah mau diberi musibah paceklik, atau
permusuhan selama dua bulan, atau turunnya wabah penyakit Taun selama tiga
hari. Akhirnya mereka lebih memilih diturunkannya penyakit Taun. Kemudian Nabi
Daud memohon agar penyakit tersebut diangkatnya.
Dengan demikian wabah penyakit Taun yang menimpa kaum Bani Israil
ketika itu merupakan azab dari Allah, karena kedurhakaannya kepada-Nya.
Sedangkan apabila menimpa kaum muslimin yang beriman jadi rahmat. Oleh karena
itu siapa saja dari kaum muslimin yang ditimpa wabah penyakit Taun diam di rumah dalam keadaan sabar, maka ia
diberi pahala orang yang mati syahid. Demikian sebagaimana dijelaskan dalam hadis
riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah.
Bagaimana dengan wabah penyakit Korona yang akhir-akhir ini menimpa
dunia termasuk bangsa Indonesia? Mungkinkah ini dapat diserupakan dengan wabah
penyakit Taun terdahulu? Atau ini sebagai teguran dari Allah agar kita meninggalkan segala bentuk kemaksiatan. Atau
sebagai bentuk ujian untuk meningkatkan kualitas keimanan kita terhadap-Nya. Atau bisa dikatakan sebagai ujian dari Allah sebelum bangsa kita mendapatkan
derajat yang tinggi. Akan tetapi kita tidak ingin mengatakan ini sebagai azab
sebagaimana yang menimpa kaum Bani Israil tempo dulu. Sehingga Korona tersebut dapat dikatakan
rahmat dan membawa hikmah besar bagi kebangkitan masyarakat, termasuk bangsa
Indonesia. Semoga wabah penyakit Korona segera berlalu. Dan disirnakan oleh
Allah dari muka bumi ini. Dan kita mengharapkan selamat jalan Korona dan selamat
datang Romadona (bahasa Arab artinya bulan Ramadan). Bulan penuh berkah dan
ampunan. Amin.
Referensi: Ibnu Hajar Asqalani, Fathul Bari Syarah Sahih Bukhari, Juz 10: 179-184; Imam Nawawi, Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim: 1382-1383; Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Wasit, Juz 1: 751-752.
Comments
Post a Comment