Kaidah Fikih dan Usul Fikih Anti Covid-19



Kaidah fikih merupakan sekumpulan hukum universal yang mencakup garis besar cabang permasalahan fikih. Kaidah ini berfungsi untuk memecahkan permasalahan fikih sehingga menghasilkan keputusan yang logis dan bijaksana. Kaidah fikih ini tidak bisa dilepaskan dalam praktiknya dengan kaidah usul fikih. Karena keduanya merupakan alat untuk menggali dan memahami permasalahan fikih. Namun terdapat perbedaan yang mendasar di antara keduanya. Perbedaannya terletak pada objek kajiannya. Kaidah fikih objeknya berkenaan dengan perbuatan mukallaf, sedangkan objek kajian kaidah usul fikih berkenaan dengan dalil hukum. Dengan demikian keduanya merupakan metode ijtihad dalam hukum Islam yang sangat penting terutama bagi para pengkaji fikih untuk dipahaminya. Saking penting keduanya (kaidah fikih dan usul fikih), Syihabudin al-Qurafi dalam karyanya “Al-Furuq” berpendapat: “Pokok-pokok syariat itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama, usul fikih yang pada umumnya berisi kaidah-kaidah hukum yang berasal dari lafaz-lafaz bahasa Arab. Kedua, kaidah kulliyah fikhiah yang cukup banyak mengungkap rahasia, ruh hukum Islam, dan menghasilkan cabang fikih.”
Menurut saya memahami kaidah fikih dan usul fikih dapat menghantarkan kita memahami ruh, rahasia, dan hakikat fikih Islam. Dikatakan ruh, karena tanpa memahami keduanya permasalahan fikih tidak akan terpecahkan. Ibaratnya raga ada tapi tanpa ruh bagaimana jadinya hal demikian. Dikatakan rahasia, karena tanpa memahami keduanya, kita tidak akan mampu memahami kandungan-kandungan, dan mencium aroma karakter fikih yang dinamis, elastis, dan fleksibel. Selanjutnya dikatakan hakikat fikih, karena tanpa memahami keduanya, kita tidak akan mampu memahami penafsiran ulama terhadap situasi dan sosio kultur yang mengitari kehidupan mereka ketika menghadapi permasalahan. Terlepas dari kapasitas mereka sebagai penjelas hukum bukan pemutus hukum (laisa bimusbit, bal bimuzhir).
Di bawah ini ada sepuluh kaidah yang saya kutif dari beberapa referensi kitab kaidah fikih dan kaidah usul fikih yang berkaitan dengan upaya pencegahan Covid-19. Upaya ini perlu adanya sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Pada umumnya kaidah fikih ini berkaitan dengan kemudaratan dan pencegahannya. Misalnya “Al-Asybah wa al-Nazair” karya Tajudin al-Subki dan Jalaludin al-Suyuti (keduanya ulama Syafiiah). Sedangkan kaidah usul fikihnya berkaitan dengan media dan kebijakan yang dikutif dari “Al-Qawaid wa al-Fawaid al-Usuliyah” karya Ibnu Lahham (ulama Hanabilah) dan “Al-Furuq” karya Syihabudin al-Qurafi (ulama Malikiah). Secara khusus kaidah fikihnya dibahas mulai dari kaidah pertama hingga kaidah ketujuh. Kemudian kaidah usul fikihnya mulai dari kaidah kedelapan hingga kaidah kesepuluh. Masing-masing dilengkapi dengan contoh aplikasi kaidah tersebut.

Kaidah Pertama
اَلضَّرَرُ يُزَالُ
Kemudaratan harus dihilangkan

Kaidah tersebut termasuk ke dalam kaidah asasiah. Disebut demikian, karena menjadi rujukan permasalahan fikih. Selain itu karena keberadaannya disepakati oleh imam mazhab yang empat. Kaidah tersebut mengandung maksud apapun bentuk kemudaratan tidak boleh didiamkan. Kaidah ini bersandar pada hadis Rasulullah yang berbunyi: “Tidak boleh mendatangkan kemudaratan bagi diri dan orang lain” (HR. Malik dari Amr bin Yahya). Contoh aplikasi tersebut adalah adanya pandemi Covid-19 sebagaimana terjadi saat ini harus segera ditangani secara serius. Hal ini perlu adanya keseriusan dari pemerintah dan dukungan dari semua lapisan masyarakat. Sehingga benar-benar segera hilang dari bumi ini termasuk bumi pertiwi Indonesia. Ini merupakan langkah ikhtiar kita dibarengi dengan berdoa kepada Allah, Zat yang Maha Kuasa.

Kaidah Kedua
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Kemudaratan dapat membolehkan sesuatu yang dilarang

Kaidah tersebut merupakan jabaran dari kaidah pertama. Maksudnya dalam kondisi yang tidak memungkinkan kita melaksanakan aktivitas, baik yang berhubungan dengan peribadahan maupun muamalah secara baik sebagaimana biasanya, maka dalam kondisi demikian kita diperbolehkan melakukan hal-hal yang asalnya menurut agama tidak diperbolehkan. Karena kaidah ini jabaran dari kaidah pertama, maka hadis yang sama menjadi sandarannya. Contohnya pemerintah menghimbau agar ibadah dilakukan di rumah. Kemudian ini diperkuat oleh fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 yang isinya di antaranya tentang larangan bagi orang yang terkena wabah Covid-19 untuk melaksanakan berjamaah salat Jumat di masjid dan diganti dengan salat Zuhur. Hal ini sebagai antisifasi agar Covid-19 tidak menular kepada orang lain. Maka, orang tersebut dalam kondisi demikian diperbolehkan melakukan salat Jumat diganti dengan salat Zuhur yang asalnya tidak diperholehkan jika tidak terpapar Covid-19.

Kaidah Ketiga
 مَا أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَاتِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
Apa saja yang diperbolehkan karena darurat, maka disesuaikan
dengan ukurannya

Kaidah tersebut masih jabaran kaidah pertama. Maksudnya kendatipun diperbolehkan melakukan sesuatu yang dilarang, akan tetapi hal demikian ada batasannya. Atau ada dalam batas sewajarnya. Karena kaidah ini jabaran dari kaidah pertama, maka hadis yang sama menjadi sandarannya. Contoh aplikasi kaidah tersebut adalah seseorang yang terpapar Covid-19 diperbolehkan melakukan salat Jumat diganti dengan salat Zuhur di rumah. Akan tetapi jika kondisinya menurut ahli kesehatan sudah memungkinkan bisa melakukannya berjamaah di masjid, maka tidak boleh baginya melakukan seperti dalam keadaan terpapar Covid-19.

Kaidah Keempat
اَلضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Kemudaratan tidak bisa dihilangkan dengan kemudaratan lainnya

Kaidah tersebut sebagaimana maksudnya telah dikemukakan dalam kaidah pertama tentang keharusan berusaha agar Covid-19 berhenti merajela. Akan tetapi usaha tersebut tidak diperbolehkan dengan tindakan yang dapat mengakibatkan kemudaratan baru. Artinya bukan mengobati penyakit yang lama malahan mendatangkan penyakit yang baru. Contohnya akhir-akhir ini ada saja sebagian oknum masyarakat yang berusaha menimbun masker sebagai salah satu pelindung di musim pandemi Covid-19. Tujuannya pas barang tersebut tidak ada di pasaran, maka ia menjualnya dengan harga mahal. Sehinga masyarakat merasa mengalami kesulitan dan pas ada biayanya tidak terjangkau pula. Akibatnya masyarakat banyak yang tidak menggunakan masker pergi ke luar sehingga yang terpapar Covid-19 semakin bertambah. Tindakan oknum demikian jelas mendatangkan kemudaratan yang baru lagi.

Kaidah Kelima
اَلْحَاجَاتُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَاتِ عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً
Kebutuhan menempati posisi darurat, baik bersifat umum maupun khusus
Kaidah tersebut mengandung maksud sesuatu yang dibutuhkan baik oleh individu maupun masyarakat, maka mengadakan sesuatu tersebut menjadi sebuah keharusan. Karena kebutuhan demikian itu menempat posisi darurat. Sehingga sama-sama penting untuk diperhatikan. Contohnya adanya aturan yang secara tegas mengatur larangan tentang belajar tatap muka, berjamaah ibadah di masjid, dan aktivitas lainnya selama masa Covid-19 perlu diadakan oleh pemerintah berikut sanksi bagi yang melanggarnya. Hal ini demi tindakan preventif dan kekompakan agar tidak semakin bertambah orang yang terpapar Covid-19 sehingga banyak menimbulkan kematian daripada kesembuhan.

Kaidah Keenam
مَا جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِهِ
Sesuatu yang diperbolehkan karena adanya uzur, maka hal itu tidak berlaku ketika uzurnya hilang.

Kaidah tersebut mengandung maksud adanya kebolehan melakukan suatu perbuatan karena adanya uzur. Ketika uzur tersebut sudah tidak ada lagi, maka kebolehkan melakukan sesuatu itu sudah tidak berlaku lagi. Contohnya selama masa pandemi Covid-19 ini pemerintah menganjurkan belajar atau kerja lainnya yang berisi pelayanan kepada masyarakat agar dilakukan secara daring atau online. Maka ketika pandemi Covid-19 sudah tidak ada lagi, pembelajaran online pun sudah tidak berlaku lagi. Dan kembali kepada pembelajaran secara tatap muka di kelas juga pelayanan kepada masyarakat sebagaimana biasanya.
   
Kaidah Ketujuh
دَرْأُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menghindarkan kerusakan lebih utama
daripada mendatangkan kemaslahatan

Kaidah tesebut mengandung maksud jika kita dihadapkan antara perbuatan yang berpotensi dapat mendatangkan kerusakan dengan kemaslahatan, maka memilih meninggalkan yang dapat berpotensi mendatangkan kerusakan itu lebih utama. Karena tekanan syariat Islam lebih besar perhatiannya kepada meninggalkan sesuatu yang dilarang daripada melaksanakan sesuatu yang diperintah. Dengan kata lain prioritas meninggalkan sesuatu yang dilarang menjadi fokus perhatiannya. Namun demikian bukan berarti mengabaikan kedudukan hukum taklifi dari keduanya. Contohnya pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI memberlakukan bagi PDP (Pasien dalam Pemantauan) diisolasi di Rumah Sakit. Sedangkan ODP (Orang dalam Pemantauan) harus berdiam diri di rumah selama 14 hari atau dikenal dengan karantina mandiri. Kebijakan pemerintah tersebut tiada lain sebagai langkah preventif dalam upaya menghindari menularnya Covid-19 tersebut kepada orang yang sehat.

Kaidah Kedelapan
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Apa saja yang tidak dapat sempurna kecuali dengan perantara sesuatu itu,
maka sesuatu itu hukumnya wajib adanya.

Kaidah tersebut termasuk ke dalam kaidah usul fikih. Hal ini bisa dilihat dalam kitab Qawaid wa al-Fawaid al-Usuliyah karya Ibnu Lahham. Begitu juga dalam kitab Al-Asybah wa al-Nazair karya Tajudin al-Subki. Kaidah tersebut merupakan kebijaka ulama berkaitan dengan tindakan preventif agar kita tidak terjermus kepada kemudaratan. Maka, untuk menghindarinya diperlukan media atau sarana agar tidak terjadi demikian. Oleh karena itu media tersebut menjadi sebuah keharusan adanya. Contohnya pemerintah berusaha mengeluarkan dana untuk keperluan antisifasi dan penanggulangan wabah Covid-19 ini untuk dibagikan kepada masyarakat luas, seperti adanya masker, handsanitizer, dan alat kesehatan lainnya. Termasuk dalam hal ini sarana-prasarana untuk kepentingan pakaian para perawat. Semua itu merupakan sarana yang dapat menghantarkan kita dalam upaya pencegahan wabah Covid-19. Bahkan lebih dari itu pemerintah juga sangat perhatian dengan upaya menggelontorkan honor untuk para perawat atau para dokter dan korban meninggal akibat wabah tersebut yang diterima oleh ahli warisnya serta para pasien.  

Kaidah Kesembilan
اَلْأَمْرُ بِالشَّيْئِ نَهْيٌ عَنْ ضِدِّهِ
Perintah untuk melakukan sesuatu berarti larangan menentangnya

Kaidah tersebut mengandung maksud adanya menaati perintah yang datangnya berasal dari seseorang yang dianggap mempunyai otoritas sebagai pemimpin. Apabila di rumah ia seperti suami, di perusahaan ia seorang direktur, dan apabila di sebuah negara ia seorang Presiden. Selama hal itu berada dalam kemaslahatan. Oleh karena itu adanya pembangkangan terhadap perintah tersebut hukumnya dilarang. Contohnya menjadi sebuah keharusan bagi masyarat untuk menaati pemerintah dalam upaya pencegahan menularnya Covid-19 dengan cara menjaga kebersihan seperti sering mencuci tangan dengan sabun, dan upaya jaga jarak di tengah dengan sesama di tengah masyarakat atau social distanting (pembatasan sosial). Karena perintah tersebut maksudnya baik, maka kita sebagai warganya harus menaatinya, dilarang untuk mengabaikannya.

Kaidah Kesepuluh
اَلْأَمْرُ بَعْدَ النَّهْيِ يُفِيْدُ الْإِبَاحَةَ
Perintah untuk melakukan sesuatu setelah adanya larangan mengandung arti kebolehan 
melakukan sesuatu itu

Kaidah tersebut sebagai pelengkap kaidah sebelumnya. Kaidah tersebut mengandung maksud yang tadinya hal tersebut dilarang karena dapat menimbulkan kemudaran, kemudian larangan tersebut sudah tidak berlaku lagi, maka kita diperbolehkan melakukan hal yang tadinya dilarang. Contohnya jika wabah Covid-19 ini telah berakhir, dan pemerintah secara resmi mengumumkannya, maka yang asalnya adanya larangan social distanting kepada masyarakat menjadi diperbolehkan sebagaimana asalnya.   

Kaidah-kaidah di atas dapat dikatakan pula sebagai metode induktif hukum Islam yang telah dikemukakan para ulama dalam upaya memecahkan permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat. Pengambilan kaidah-kaidah tersebut ada yang disarikan dari ucapan Nabi sendiri seperti kaidah pertama maupun hasil ijtihad para sahabat, tabiin, dan generasi seterusnya seperti para ulama. Semoga bermanfaat. Amin.     


Catatan :
Jika Anda mengutip tulisan ini, jangan lupa untuk memasukkannya di daftar pustaka sebagai berikut:

Hidayat, Enang (2020, 14 April). Kaidah Fikih dan Usul Fikih Anti Covid-19 [Entri blog].  Diambil dari https://enanghidayat17.blogspot.com/2020/04/kaidah-fikih-dan-usul-fikih-anti-covid.html                                                                                                                                 

Comments

Popular posts from this blog

Membedah Isra Mikraj Menurut Etimologi

Isolasi Diri Model Daud bin Abi Hindi

Rezeki Lahiriah dan Batiniah