Penulis mengawali tulisan tentang Isra dan Mikraj ini dengan cara membedah makna keduanya menurut etimologi atau bahasa. Di dalamnya diuraikan penyebutan kata Isra dan Mikraj dalam Alquran. Kata “Isra” ( (إسراء berasal dari kata dasar “Sara” ( سرى ) yang mengandung arti سير الليل (berjalan di waktu malam). Luis Makluf (dalam Al-Munjid ) dan Ibnu Manzur (dalam Lisanul Arab ) menambahkan kata “Isra” berasal dari kata سَرى- سُرى - سَريَة . Maknanya adalah سير الليل عامته , yakni keumuman berjalan pada waktu malam hari. Selanjutnya Al-Zubaidi (dalam Tajul Arus ) menyebutkan sekalipun makna سرى secara implisit bermakna sebagaimana telah dijelaskan di atas, namun diujung firman-Nya : أسرى بعبده ليلا سبحان اللذي disebut lagi kata ليلا . Penyebutan kata tersebut hanya berfungsi sebagai penguat ( ta’kid ) saja. Akan tetapi menurut sebagian ulama sebagaimana dijelaskan Ragib al-Asfahani (dalam Al-Mufradat fi Garibil Quran ) kata أسرى bukan berasal dari kata
Kata “rezeki” sudah tidak asing bagi kita dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi kita sendiri meyakini bahwa semua semua makhluk yang hidup di muka bumi ini, telah ada yang mengatur rezekinya masing-masing, yaitu Allah, Sang Maha Pencipta (Surat Hud: 6). Demikian salah satu contoh ayat Alquran yang terkait dengan pengaturan rezeki oleh-Nya. Ayat tersebut sebagaimana dijelaskan Wahbah Zuhaili (dalam Tafsir Al-Wasit ) menegaskan bahwa Allah-lah yang menjamin rezeki semua makhluk-Nya, tak terkecuali manusia. Namun, keberhasilan rezeki tersebut tidak menafikan adanya hukum kausalitas (sebab akibat), yakni usaha atau kerja keras masing-masing. Dialah, Allah Al-Razzaq (Yang Maha Pemberi Rezeki). Kemudian timbul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan rezeki? Para ulama, seperti Luis Makluf (dalam Al-Munjid ), Ibnu Manzur (dalam Lisanul Arab :), Al-Zubaidi (dalam Tajul Arus ), Al-Fairuzabadi (dalam Kamus Al- Muhit ), dan Al-Jauhari ( Kamus Al-Sihah ), mereka sepakat mendefi
Mayoritas para ulama membagi domain hukum Islam kepada dua bagian, yakni ibadah dan muamalah. Ibadah oleh para ulama sebagaimana dikutif Al-Zubaidi (dalam Taj al-Arus ) diartikan dengan ketaatan. Atau melakukan suatu perbuatan yang diridai-Nya. Sedangkan Rawas Qalahji dan Hamid Sadiq Qanibi (dalam Mu'jam Lugat al- Fuqaha ) mengartikannya dengan melakukan suatu perbuatan yang terkumpul di dalamnya kesempurnaan kecintaan, rasa takut, dan merendahkan diri di hadapan Allah atau act devotion, performance of rituals , seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Selanjutnya Rawas Qalahji dan Hamid Sadiq Qanibi mengartikan muamalah dengan hukum-hukum syarak yang mengatur pergaulan manusia di dunia. Tentunya muamalah di sini maksudnya bermakna luas, baik berkaitan dengan muamalah maliah , seperti jual beli, sewa-menyewa, dan lain sebagainya, maupun muamalah gair maliah , seperti pernikahan, jinayah, waris, siasah, dan lain sebagainya. Kaidah Umum Fikih Ibadah dan Muamalah Para u
Comments
Post a Comment